Seorang umat gereja Katolik yang taat di pelosok NTT juga mengidap kelainan skizofrinia. Gangguan mental tak ada hubungannya dengan iman yang lemah. Para penyintas gangguan mental tetap mencintai Tuhannya.
Sebuah kemajuan ketika Kemenkes RI meluncurkan aplikasi Sehat Jiwa pada 10 Oktober 2015. Aplikasi gratis tersebut memberi panduan pada masyarakat bagaimana melaporkan, mengecek, serta solusi mudah untuk mereka yang mengalami gangguan kejiwaan.Â
Pada saat bersamaan, mulai bermunculan beberapa aplikasi konseling online di Indonesia. Seperti Psyline, yang memberikan layanan konseling gratis dari psikolog profesional dan KALM, yang membantu penggunanya memecahkan solusi dari permasalahan psikologis lewat percakapan.
Thanks for Sehat Jiwa, KALM, dan Psyline. Namun, sekali lagi, yang betul-betul peduli pada kesehatan mental hanyalah segelintir pihak di Indonesia.Â
Sisanya memilih acuh. Itulah sebabnya para penyintas gangguan mental enggan membuka diri mengenai penyakitnya pada orang lain. Mereka takut dianggap gila dan dicap negatif.
Pergi ke psikolog di mata orang Indonesia pun sudah dianggap mempunyai kegilaan. Padahal, tak selamanya psikolog mengurusi orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan berbagai problem sah-sah saja mendatangi psikolog.
Kepedulian orang Indonesia terhadap kasus bunuh diri masih rendah. Kenapa hotline cegah bunuh diri dan krisis kejiwaan tidak dibuka lagi? Kenapa kepedulian terhadap krisis kejiwaan dan bunuh diri masih dilakukan secara swadaya? Kenapa hanya orang-orang tertentu yang bersedia diganggu dering telepon di malam hari saat orang lain curhat ingin bunuh diri? Mestinya, jenis kesadaran seperti itu dimiliki seluruh orang Indonesia.
Dari pada ribut-ribut soal politik, melemahkan KPK, menganiaya relawan Jokowi, dan merancang pasal-pasal bermasalah, kenapa orang Indonesia dan pemerintahnya tidak mengurusi kasus bunuh diri? Isu seperti ini memang tidak cukup seksi, unpopular, bahkan tidak "basah" karena bukan ladang uang.Â
Namun, cobalah sesekali berpikir untuk kemanusiaan. Memangnya kalian rela, nyawa-nyawa terbuang hanya karena mematikan diri sebelum waktunya?
Alih-alih peduli pada kesehatan mental, segolongan pihak bodoh plus radikal yang menamakan diri PA 212 malah menganiaya seorang aktivis media sosial. Kejahatan yang mereka lakukan berpeluang besar merusak mental korban.Â
Ninoy Karundeng, orang tak bersalah yang mereka aniaya, dapat mengalami trauma dan pukulan jiwa seumur hidupnya.Â