Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Orang Indonesia, Kapan Kalian Mengasihi Penyintas Gangguan Mental?

10 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 10 Oktober 2019   06:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer, selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tema Hari Kesehatan Jiwa tahun ini adalah Mental Health Promotion and Suicide Prevention atau Promosi Kesehatan Jiwa dan Pencegahan Bunuh Diri, sebagaimana dikutip dari laman resmi Federasi Dunia untuk Kesehatan Mental (WFMH). 

Tahun ini, peringatan hari tersebut didukung penuh oleh WHO, the International Association for Suicide Prevention, dan United for Global Mental Health.

27 tahun lalu, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia mulai dirayakan. Awalnya, peringatan ini dirayakan oleh Richard Hunter, Wakil Sekretaris Jenderal WFMH. 

Peringatan ini mulanya tanpa tema khusus, tak seperti tahun ini yang berfokus pada pencegahan bunuh diri.

WHO menyatakan, 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Itu artinya, ada satu orang per empat puluh menit yang meninggal karena bunuh diri. 

Bunuh diri juga menjadi penyebab kematian nomor dua di kalangan anak muda berusia 15-29 tahun. Menakutkan ya...

Come on, kita menepi sejenak dari hingar-bingar politik yang memuakkan. Sebelum melanjutkan pembahasan, Young Lady ingin menyajikan dua ilustrasi berikut:

-Melukai diri berkali-kali

Calvin memiliki seorang putri bernama Shilla. Walaupun cantik dan terlihat sempurna, Shilla menyimpan sisi gelap dalam dirinya: self harm. 

Tiap kali terdorong melukai diri, Shilla selalu bercerita pada Calvin. Sang ayah tak henti mencegah anak tunggalnya untuk tidak melukai diri. 

Pagi, siang, sore, dan malam, dorongan itu sering kali muncul. Saat Calvin ke luar kota atau ke luar negeri untuk perjalanan bisnis, dia selalu stand by dengan handphonenya bila sewaktu-waktu Shilla dalam keadaan urgen ingin melakukan itu. 

Puncaknya, Calvin pernah merelakan dirinya dilukai anaknya sendiri agar Shilla tidak terluka.

-Trigger dan memasang tali di pohon

Neil, seorang warga pendatang, beberapa kali ingin bunuh diri. Namun, dia merahasiakan tujuan terpendamnya itu. 

Suatu sore, Neil memasang tali di pohon. Pamannya melihat kejadian itu dan menanyai Neil tentang alasannya mengikatkan tali. Kata Neil, tali itu hanya untuk properti pengambilan video. 

Sang paman awalnya percaya saja mengingat profesi Neil sebagai seorang fotografer dan videografer. Akan tetapi, kepercayaan sang paman luruh begitu melihat Neil bersiap bunuh diri. Aksi percobaan bunuh diri Neil dapat digagalkan.

Menegangkan membaca ilustrasi itu. Sayangnya, sedikit sekali orang seperti Calvin atau Paman Neil di Indonesia. 

Kebanyakan orang Indonesia masih kurang peduli, bahkan menaruh stigma negatif terhadap penyintas gangguan mental. Hal ini tak lepas dari kurangnya pengetahuan orang Indonesia tentang gangguan kejiwaan.

Mirisnya, penyintas gangguan mental lekat dengan sebutan 'orang gila' dan 'sakit jiwa'. Sebagian besar masyarakat malah mengucilkan dan memasung mereka, alih-alih memberikan treatment penyembuhan. 

Lebih parah lagi, ada golongan tertentu yang menuduh penyintas gangguan mental sebagai orang yang kurang bersyukur dan tipis iman.

Eits, jangan salah. Seorang admin grup peduli gangguan mental pernah mengunggah status di grupnya. Ia melarang kita semua menghakimi penyintas gangguan mental sebagai orang yang lemah iman. 

Sebagai pembuktian, si admin menyajikan kisah seorang mantan santri yang mengalami skizofrinia. 

Seorang umat gereja Katolik yang taat di pelosok NTT juga mengidap kelainan skizofrinia. Gangguan mental tak ada hubungannya dengan iman yang lemah. Para penyintas gangguan mental tetap mencintai Tuhannya.

Sebuah kemajuan ketika Kemenkes RI meluncurkan aplikasi Sehat Jiwa pada 10 Oktober 2015. Aplikasi gratis tersebut memberi panduan pada masyarakat bagaimana melaporkan, mengecek, serta solusi mudah untuk mereka yang mengalami gangguan kejiwaan. 

Pada saat bersamaan, mulai bermunculan beberapa aplikasi konseling online di Indonesia. Seperti Psyline, yang memberikan layanan konseling gratis dari psikolog profesional dan KALM, yang membantu penggunanya memecahkan solusi dari permasalahan psikologis lewat percakapan.

Thanks for Sehat Jiwa, KALM, dan Psyline. Namun, sekali lagi, yang betul-betul peduli pada kesehatan mental hanyalah segelintir pihak di Indonesia. 

Sisanya memilih acuh. Itulah sebabnya para penyintas gangguan mental enggan membuka diri mengenai penyakitnya pada orang lain. Mereka takut dianggap gila dan dicap negatif.

Pergi ke psikolog di mata orang Indonesia pun sudah dianggap mempunyai kegilaan. Padahal, tak selamanya psikolog mengurusi orang dengan gangguan jiwa. Orang dengan berbagai problem sah-sah saja mendatangi psikolog.

Kepedulian orang Indonesia terhadap kasus bunuh diri masih rendah. Kenapa hotline cegah bunuh diri dan krisis kejiwaan tidak dibuka lagi? Kenapa kepedulian terhadap krisis kejiwaan dan bunuh diri masih dilakukan secara swadaya? Kenapa hanya orang-orang tertentu yang bersedia diganggu dering telepon di malam hari saat orang lain curhat ingin bunuh diri? Mestinya, jenis kesadaran seperti itu dimiliki seluruh orang Indonesia.

Dari pada ribut-ribut soal politik, melemahkan KPK, menganiaya relawan Jokowi, dan merancang pasal-pasal bermasalah, kenapa orang Indonesia dan pemerintahnya tidak mengurusi kasus bunuh diri? Isu seperti ini memang tidak cukup seksi, unpopular, bahkan tidak "basah" karena bukan ladang uang. 

Namun, cobalah sesekali berpikir untuk kemanusiaan. Memangnya kalian rela, nyawa-nyawa terbuang hanya karena mematikan diri sebelum waktunya?

Alih-alih peduli pada kesehatan mental, segolongan pihak bodoh plus radikal yang menamakan diri PA 212 malah menganiaya seorang aktivis media sosial. Kejahatan yang mereka lakukan berpeluang besar merusak mental korban. 

Ninoy Karundeng, orang tak bersalah yang mereka aniaya, dapat mengalami trauma dan pukulan jiwa seumur hidupnya. 

Semoga para radikalis membaca tulisan ini. Agar mereka berpikir lebih lama sebelum merusak jiwa orang lain.

So, apa yang harus dilakukan? Berhenti menjudge penyintas gangguan mental sebagai orang kurang iman. 

Luangkanlah waktu untuk mereka. Bantulah orang-orang yang tergerak melakukan bunuh diri. Kasihilah penyintas gangguan mental setulus hati. Sayangi penyintas gangguan mental seperti menyayangi keluarga sendiri.

Kompasianer, sudahkah kalian mengulurkan tangan pada penyintas gangguan mental?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun