Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hal-hal Klise yang Selalu Ada dalam Novel "Marketable"

15 September 2019   06:00 Diperbarui: 15 September 2019   06:15 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini, Young Lady cantik suka membongkar-bongkar arsip lama. Khususnya arsip tentang novel milik sejumlah teman dari lingkup fandom yang sama. Novel-novel itu terbit tahun 2013-2014. Ceritanya, Young Lady ingin bernostalgia.

Ternyata sampai sekarang Young Lady cantik masih ingat jalan ceritanya dari awal sampai akhir. Dari pada membaca ulang, lebih baik baca saja reviewnya. Sambil menggigit bibir dengan perasaan ironis, Young Lady menemukan puluhan review di setiap novel. 

Padahal cerita novelnya mainstream dan temanya tak kalah basi. Mengapa novel-novel sejenis itu begitu digemari? Bahkan, Young Lady sampai bertanya-tanya dalam hati. Pesan moralnya ada nggak ya? Let me know kalau memang ada.

Beberapa novel yang mendapat puluhan review itu mengusung plot bergaya korean drama wannabe dan ftvable. Sangat, sangat klise. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan plot korean drama wannabe. 

Hanya saja, akan jadi sangat membosankan dan murahan bila terus-menerus diulang oleh penulis yang berbeda. To be honest, novel-novel bergaya k-drama wannabe itu minim pesan moral nan inspiratif. So, hal-hal klise apa saja yang selalu ada di novel marketable?

1. Cinta segitiga. Ini sangat, sangat mainstream. Kalaupun menulis romance, Young Lady sangat menghindari jenis konflik ini. Biasanya, satu orang wanita sangat cantik diperebutkan dua pria. Satu pria bad boy lengkap dengan segala sikapnya yang menyebalkan, satu lagi pria baik hati dan se-perfect malaikat. 

Membosankan, kan? Celakanya, plot seperti ini sering kali diulang-ulang. Biasanya, konflik cinta segitiga akan diakhiri dengan kemenangan dari si bad boy. Dialah yang akan memenangkan hati si wanita.

2. Benci jadi cinta. Hellooooo, apakah semua kisah cinta di dunia harus diawali dengan saling benci? Haruskah setiap cerita cinta bermula dari pertengkaran-pertengkaran tak bermutu? Bisakah lovestory dimulai dengan cara normal? Tidak perlulah benci dulu baru cinta. Plot rasa FTV ini banyak ditemui di novel-novel marketable yang dilirik major publisher.

3. Momen pertemuan dengan tabrakan. Sepasang gadis dan pemuda tabrakan di koridor, buku si gadis jatuh, lalu si pemuda membawakannya dengan senyum manis. Sepasang pria dan wanita bertabrakan di depan lift, minuman tumpah ke baju, dan mereka marah-marah serta saling menyalahkan. Aduh, klise sekali. Young Lady yakin, yakin sekali. 

Di dunia nyata, momen tabrakan tidak akan membekas sedalam itu di ingatan. Young Lady malah ingin segera melupakannya kalau tak sengaja bertabrakan dengan orang lain. Apa bagusnya ditabrak dan menabrak orang saat berjalan?

4. Gadis miskin mencintai pemuda kaya. Rasanya bosan sekali membaca plot seperti ini. Terlalu mengada-ada dan tidak realistis. Bukankah burung lebih memilih terbang dengan sesamanya? Bukankah lebih nyaman menjalin cinta dengan seseorang dari kasta yang sama? 

Lalu, mengapa harus tokoh perempuan yang miskin dan tokoh pria yang kaya? Seakan tokoh perempuan ditakdirkan untuk hidup menderita dalam kemiskinan, dan tokoh lelaki hidup mewah dengan segala kekuasaan. 

Tokoh perempuan di-setting untuk tunduk di bawah pengaruh kekayaan, pesona, dan kekuasaan seorang lelaki. Percayalah, novel-novel cheessy bertema k-drama tidak mencerminkan emansipasi dan kesetaraan gender.

5. Tokoh antagonis serupa queen bee. Ia berwujud gadis super kaya yang dikelilingi teman-teman perempuannya. Teman-teman perempuan itu dianggap sebagai "dayang". Gadis ini sangat angkuh. Si queen bee ini galaknya luar biasa dan kerjanya perintah-perintah terus. 

Saat si gadis protagonis yang miskin tetapi sangat manis tiba, waktunya si queen bee membully si gadis protagonis dengan kejam. Plot berulang yang super mainstream.

6. Derita tokoh wanita. Novel-novel cheessy bernuansa k-drama wannabe tapi marketable selalu menjual derita tokoh wanita. Siapa yang dibully? Tokoh wanita. Siapa yang ditinggal selingkuh? Tokoh wanita. Siapa yang biasanya kena penyakit parah? Tokoh wanita. Siapa yang biasanya dibuat patah hati? Tokoh wanita.

Siapa yang digambarkan berasal dari keluarga miskin yang harus menyesuaikan diri dengan keluarga kaya? Tokoh wanita. Selalu saja tokoh wanita yang menjadi korban. Penderitaan tokoh wanita adalah komoditi di dunia pernovelan. Novel marketable bergaya k-drama wannabe sangat tidak layak sebab rawan kesan inferior bagi pembaca wanita.

7. Bad boy. Inilah yang maha membosankan dari segala yang membosankan di novel marketable. Tokoh pria arogan, nakal, berkelakuan buruk, suka memainkan perasaan perempuan, serakah, bertingkah seenaknya, tetapi sangat disukai. Apa bagusnya karakter seperti ini? Tak ada kesan positif dalam tokoh bad boy. 

Sebaliknya, tokoh pria baik hati seperti malaikat malah dianggap membosankan. Memang benar, orang lebih mudah mengingat hal negatif ketimbang hal positif. 

Parahnya, justru si bad boy inilah yang pada akhirnya menjadi pemenang. Dialah penerima keuntungan terbesar di akhir cerita. Bodoh sekali penulisnya. Menjadikan pria-pria kurang baik sebagai pemenang sejati.

Mirisnya, ketujuh poin klise itu tak hentinya dipakai para penulis. Penerbit pun sama bebalnya karena terus menerima novel bermuatan tujuh poin klise di atas. 

Novel-novel berplot k-drama wannabe bersifat unfaedah dan minim pesan moral. Mereka hanya menjalankan fungsi menghibur, tanpa menjalankan fungsi mendidik dan menginspirasi.

Menulis novel cinta tidak ada salahnya. Bahkan, aliran favorit Young Lady adalah romance. Nnamun, novel cinta tak harus dibumbui hal-hal murahan, kan? 

Bisa saja mengangkat tema cinta pada keluarga, cinta pada golongan minoritas, atau cinta bernafaskan pluralisme. Mengapa novel-novel cinta seperti itu justru tidak marketable? Entahlah, hanya pembaca yang punya jawabannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun