"Gabriel, kamu kenapa sih? Melamun aja dari tadi..." ceus Silvi, menyikut rusuknya.
"Nggak apa-apa kok. Cuma mikirin nanti malam." sahut Jose tanpa memandang Silvi.
Kening Silvi berkerut. "Nanti malam? Malam ke27?"
Jose mengangguk. Tak sabar menantikan malam. Malam yang diyakini sebagai malam mulia. Lebih mulia dibandingkan seribu bulan.
"Kalau di Turki, namanya Kadir Gecesi. Biasanya dirayakan tiap malam 27. Waktu Papa ajak aku ke Konya, aku lihat orang-orang di sana rayain malam seribu bulan di kompleks masjid dekat makam dan museum Rumi." jelas Silvi. Ada binar bahagia di mata birunya. Ia teringat kunjungan singkatnya bersama Paman Revan ke tanah air kedua mereka.
"Sayang ya, di Indonesia nggak ada perayaan kayak gitu. Aku..."
Kalimatnya menggantung. Jose merasakan matanya begitu sakit. Silvi meliriknya cemas.
"Gabriel, mata kamu sakit lagi ya?" tanyanya.
"Mata kamu sakit, Sayang?"
Ada suara alin di belakang mereka. Suara bass bertimbre berat namun lembut. Nadanya jauh lebih khawatir.
Jose terpaku. Ia biarkan pria tinggi, tampan, dan bermata sipit itu memeluknya.