Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasih Seribu Bulan, Kadir Gecesi

2 Juni 2019   06:00 Diperbarui: 2 Juni 2019   06:17 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasih Seribu Bulan, Kadir Gecesi

"Gabriel! Gabriel! Coba liat, aku dapat apa?"

Silvi berlari-lari menaiki tangga marmer. Jose menyambutnya. Penasaran melihat gelas plastik yang diacungkan Silvi.


"Tadi aku selesai bagi-bagi makanan kayak biasanya. Pas lewat jalan pulang, aku malah ditawarin sup buah sama kakak-kakak berbaju hitam. Dia juga lagi bagi makanan gratis ke semua orang. Aku terima aja, nanti kalo nggak diterima bisa dikira sombong. Ini sup buah gratis pertama yang kudapat."

Ini pengalaman baru buat Silvi. Selama berbagi, Jose tak pernah mengalami hal yang sama. Mungkin orang-orang segan berbagi padanya, melihat matanya yang sipit.

"Hmmmm...kenapa aku dikasih sup buah ya? Padahal kan mataku biru. Wah, nggak kebayang deh kalo tadi Papa ikutan. Tahu kan, Papa Revan tampilannya bule banget? Mereka nggak bisa mastiin aku Muslim apa bukan." Silvi mendesah.

"Mereka berbagi ke semua orang. Nggak liat kamu siapa," Jose mengutarakan pendapatnya.

"Iya kali ya..."

Keduanya memandang langit kemerahan. Garis-garis keemasan sisa cahaya mentari terakhir bersiap pudar. Sebentar lagi sore undur diri dan digantikan senja. Setelah senja, datanglah malam. Malam yang dinanti Jose.

"Gabriel, kamu kenapa sih? Melamun aja dari tadi..." ceus Silvi, menyikut rusuknya.

"Nggak apa-apa kok. Cuma mikirin nanti malam." sahut Jose tanpa memandang Silvi.

Kening Silvi berkerut. "Nanti malam? Malam ke27?"

Jose mengangguk. Tak sabar menantikan malam. Malam yang diyakini sebagai malam mulia. Lebih mulia dibandingkan seribu bulan.

"Kalau di Turki, namanya Kadir Gecesi. Biasanya dirayakan tiap malam 27. Waktu Papa ajak aku ke Konya, aku lihat orang-orang di sana rayain malam seribu bulan di kompleks masjid dekat makam dan museum Rumi." jelas Silvi. Ada binar bahagia di mata birunya. Ia teringat kunjungan singkatnya bersama Paman Revan ke tanah air kedua mereka.

"Sayang ya, di Indonesia nggak ada perayaan kayak gitu. Aku..."

Kalimatnya menggantung. Jose merasakan matanya begitu sakit. Silvi meliriknya cemas.

"Gabriel, mata kamu sakit lagi ya?" tanyanya.

"Mata kamu sakit, Sayang?"

Ada suara alin di belakang mereka. Suara bass bertimbre berat namun lembut. Nadanya jauh lebih khawatir.

Jose terpaku. Ia biarkan pria tinggi, tampan, dan bermata sipit itu memeluknya.

"Biar sakitnya pindah ke Ayah..." ujar Ayah Calvin lembut.

Ayah Calvin mencium mata Jose. Silvi ikut sedih melihat sepupunya kesakitan.

**  

Engkaulah nafasku

Yang menjaga di dalam hidupku

Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik

Kau tak pernah lelah

Sebagai penopang dalam hidupku

Kau berikan aku semua yang terindah

Aku hanya memanggilmu ayah

Di saat ku kehilangan arah

Aku hanya mengingatmu ayah

Jika aku t'lah jauh darimu (Seventeen-Ayah).

Puluhan jarum masih terasa pedih menusuk mata Jose. Ia memaksakan diri bermain piano. Lagu itu untuk Ayahnya.

"Sayang, sakit mata kok masih main piano? Istirahat ya..." kata Ayah Calvin mengingatkan.

"Nanti aja. Sakit nggak boleh dimanja." sanggah Jose.

Ayah Calvin mendesah sabar. "Kataya mau berdoa di malam seribu bulan..."

"Iya. Jose mau doain Ayah. Jose mau doain Ayah karena cinta."

Sesuatu yang lembut menyentuh hati Ayah Calvin. Ia mengelus-elus rambut Jose. Digendongnya tubuh Jose ke ranjang.

Ayah Calvin memeluk Jose sampai tertidur. Jose terlelap damai dalam hangatnya belaian dan wangi Blue Seduction. Mungkin Jose bisa tertidur pulas. Tapi tidak dengan Ayah Calvin.

Beberapa jam lalu, Ayah Calvin mendapat kabar buruk. Kakak sepupunya masuk rumah sakit. Kondisinya semakin parah. Ini membuat Ayah Calvin sedih dan cemas. Mau tak mau ia mencemaskan dirinya pula. Jose belum tahu apa yang telah terjadi. Entah bagaimana khawatirnya andai dia tahu.

Hatinya berdilema. Di satu sisi, dia ingin ke rumah sakit. Di sisi lain, dia tak bisa meninggalkan Jose sendirian.

Dalam hati, Ayah Calvin bersyukur. Dirinya bukan pekerja kantoran yang terikat kewajiban bekerja di belakang meja delapan jam sehari. Waktu luangnya lebih banyak. Tak perlu bekerja pada orang lain. Justru orang-orang yang bekerja di kantornya. Dengan begitu, Ayah Calvin bisa jadi full time father buat putra tunggalnya.

Sepertiga malam, Jose terbangun. Ayah Calvin, walau tidur tak nyenyak dan menahan beratnya kekhawatiran, bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Ia telah berjanji untuk menemani Jose di malam mulia.

Rasa sakit di mata Jose jauh berkurang. Dilihatnya wajah Ayah Calvin lebih pucat. Tangan Ayah Calvin terasa dingin.

"Ayah baik-baik aja?" Jose bertanya penuh perhatian.

"Iya, Sayang." jawab Ayah Calvin menenangkan.

Bila Jose tak mau memanjakan penyakit, Ayah Calvin malah berteman dengan rasa sakit. Ia mengajak kekentalan darah yang dideritanya untuk berdamai. Ayah Calvin hidup bersama darah kental.

Semangat Jose bangkit. Ia harus mendoakan Ayahnya di malam mulia. Janji Tuhan tak pernah ingkar. Tuhan mmenjanjikan pahala yang sama nilainya dengan seribu bulan jika ada yang beribadah dan berdoa padaNya di malam itu. Seribu bulan sekitar 83 tahun. Jose ingin mencurahkan kasih sebanyak itu untuk Ayah Calvin.

Dibukanya kitab suci. Dibacanya surat ke97. Surat yang menceritakan tentang malam mulia.

Selesai membaca beberapa surat dan puji-pujian, Jose menggantungkan harapannya ke langit. Berharap doa-doa itu sampai langsung ke tangan Tuhan tanpa penghalang.

Mula-mula Jose mendoakan semua impian dan cita-citanya. Lalu ia mendoakan ketiga sahabatnya, Silvi, Tamara, Dokter Tian, Abi Assegaf, Ummi Alea, Bunda Dinda, Bunda Calisa, Opa Effendi, Paman Revan, Paman Adica dan calon istrinya, Bibi Asyifa. Ia pun mendoakan ibu kandungnya, Bunda Sivia. Dan terakhir...namun paling utama, ia mendoakan Ayah Calvin.

Ayah Calvin, ayah istimewa yang telah merawatnya. Jose bangga dibesarkan ayah penyintas darah kental. Anak sekecil Jose tahu betul kesulitan sang ayah untuk tetap mengurusnya dengan kondisi spesial.

Nama Ayah Calvin Wan terpatri dalam doa-doanya. Di malam mulia, Jose mengungkap cinta terdalamnya. Jose cinta Ayah Calvin karena Allah. Biar rasa cinta ini tersimpan di hati.

Tak pernah terlintas rasa malu di hatinya sebab punya ayah istimewa. Bukannya amlu, yang ada hanyalah kebanggaan. Bangga luar biasa dengan Ayah Calvin.

"Ya, Tuhan, angkatlah beban dan rasa sakit Ayah. Jose percaya, semua penyakit ada obatnya. Sembuhkanlah Ayah Calvin. Jagalah darah dalam tubuhnya agar tidak membeku dan merusak yang lain. Panjangkanlah umur Ayah. Izinkan Jose memeluk Ayah sampai ke surga."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun