Senja tiba. Pertanyaan Paman Adica menguap bersama wangi baklava dan butir kurma. Salah satu bisnis yang digeluti Abi Assegaf adalah supplier kurma, madu, dan coklat. Tak heran bila buah kesukaan Nabi itu jadi menu rutin di sana.
Mereka duduk mengitari meja makan. Masakan khas Timur Tengah disajikan satu per satu. Abi Assegaf mengambilkan ruzz billaban untuk Jose. Ia menuangkan porsi tambahan dengan lembut saat bocah tinggi dan tampan itu mau tambah lagi. Ummi Alea menanyai Jose tentang novel musikal yang ditulisnya. Paman Adica menyemangati Jose untuk terus latihan piano. Ah, nyamannya tinggal di sini. Seperti punya keluarga utuh. Ada ayah, ibu, dan kakak.
"Zaki..." Ummi Alea memanggil lembut nama depan Abi Assegaf.
"Rasanya kayak punya anak kecil lagi ya. Jadi ingat Adica waktu seumuran Jose..."
"Iya...persis seperti ini. Waktu itu kau belum sibuk dengan project-project kesetaraan gendermu." sahut Abi Assegaf halus.
"Dan kau masih jadi penyiar baru di radio itu."
Mereka berdua tertawa. Jose dan Paman Adica melirik mereka.
Jose nyaman tinggal bersama keluarga Assegaf. Namun, benarkah dia ingin tinggal di sana selamanya?
Abi Assegaf berusaha meniru Ayah Calvin dalam memperlakukan Jose. Dia menemani Jose di sepertiga malam. Jose senang sih, apa lagi pria botak yang tetap kharismatik itu tidak pernah meninggalkannya untuk muntah dan membersihkan darah. Ummi Alea selalu perhatian padanya. Paman Adica mensupportnya tanpa kenal lelah. Jose tak perlu resah dan bertanya-tanya tentang obat. Ketiga anggota keluarga Assegaf sehat.
Tapi...
Tak ada yang menemaninya tidur. Tak ada yang mau duduk di tepi ranjangnya tiap malam. Tak ada yang bisa membacakannya buku. Abi Assegaf sibuk dengan bisnis dan radio. Ummi Alea lebih sering berkutat dengan blog dan proyek-proyek kesetaraan. Paman Adica tenggelam berjam-jam di balik tumpukan kitab undang-undang dan berkas perkara.