Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Abi atau Ayah?

16 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 16 Mei 2019   07:19 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jose kesal. Ayah Calvin sering bangun terlambat. Kalau sudah begitu, jangan harap Ayah Calvin punya waktu untuknya.

Jika bangun terlambat, Ayah Calvin akan sibuk sendiri. Membaca laporan entah apa. Menulis sesuatu. Berurusan dengan grafik-grafik rumit itu. Pokoknya, Ayah Calvin takkan menghabiskan waktu bersama Jose.

Parahnya lagi, Ayah Calvin tidak meminta maaf. Dibiarkannya saja Jose ngambek berjam-jam. Sombong sekali, pikir Jose.

Makanya Jose mau saja ketika diajak Abi Assegaf menginap di rumahnya selama seminggu. Abi Assegaf ayahnya Paman Adica. Meski jarang bertemu, Jose dan Abi Assegaf saling menyayangi. Beberapa kali dalam sebulan Abi Assegaf menelepon Jose dan mengiriminya e-mail.

Sore ini Abi Assegaf menjemput Jose. Ia datang bersama istrinya, Ummi Alea. Jose senang sekali di dekat mereka. Abi Assegaf yang tampan dan Ummi Alea yang cantik selalu membuatnya tenang. Usia mereka tak lagi muda, tetapi mereka tetap menawan dan kharismatik.

Ummi Alea memeluk Jose hangat. Jose balas memeluknya. Serasa punya ibu saja. Ayah Calvin tak pernah memberikan Bunda untuknya.

"Ummi percaya kita akan bertemu lagi...insya Allah. Ternyata benar, kan?" kata wanita berambut pendek itu, tersenyum manis.

Jose mengangguk. Sedetik kemudian, Abi Assegaf ikut memeluknya. Ditariknya tubuh Jose dalam dekapan erat. Tubuh Abi Assegaf wangi sekali. Wangi khas yang menyegarkan. Entah apa parfumnya. Tapi jelas beda dengan wangi Blue Seductionnya Ayah Calvin.

"Ayo kita berangkat, Sayang. Ini kopermu? Abi bawa ya..."

Koper kecil itu ringan saja di tangan Abi Assegaf. Satu tangannya yang lain menggandeng Jose. Ummi Alea merangkul pundaknya. Dari jauh mereka benar-benar mirip keluarga bahagia. Di kaki tangga, para pelayan menatap penuh arti. Mereka menggelengkan kepala dengan sedih. Karena masih marah, Jose tak mau pamitan dengan Ayahnya.

Honda Jazz milik Abi Assegaf melaju meninggalkan kompleks. Melewati gereja, masjid, dan vihara dengan cepat. Alunan lagu terdengar dari audioplayer. Hati Jose berdesir. Itu lagu yang selalu dinyanyikan Ayah Calvin tiap kali akan bepergian ke luar kota atau ke luar negeri. Tanpa sadar Jose ikut menyanyi dengan suara lembut.

Waktu telah tiba

Aku kan meninggalkan

Tinggalkan kamu tuk sementara

Kaupeluk aku

Kaubilang jangan pergi

Tapi ku hanya dapat berkata

Aku hanya pergi tuk sementara

Bukan tuk meninggalkanmu selamanya

Aku pasti kan kembali pada dirimu....

Ayah Calvin, kenapa tadi Ayah tak memeluknya sebelum pergi? Batin Jose sedih.

"Suaramu bagus, Nak." puji Ummi Alea.

"Iya. Kamu benar-benar mirip Ayahmu." Abi Assegaf bergumam mengiyakan.

Semua orang bilang begitu. Jose sudah bosan mendengarnya. Untuk pertama kali, ia tak mau disamakan dengan Ayah Calvin. Ayah Calvin ceroboh, gengsi meminta maaf, tak mau pasang alarm, dan suka telat bangun. Apa bagusnya?

"Hei...kok cemberut sih?" tanya Ummi Alea, pelan mencubit pipi Jose.

"Jose sebel sama Ayah! Ayah tinggal-tinggal Jose! Ayah nggak ada waktu!" omelnya.

Abi Assegaf tersenyum lembut. "Nggak boleh gitu, Sayang. Mungkin Ayah Calvin sibuk."

Mobil melaju ke utara. Satu jam berselang, mereka tiba di sebuah mansion super luas. Halaman depan dan belakangnya masing-masing seukuran lapangan sepakbola. Ada rumah pohon, kolam renang, flying fox, dan area outbond. Jose lari ke halaman belakang. Ia tak sabar ingin segera mencoba flying fox mini dan naik ke rumah pohon. Dari dulu Jose ingin punya rumah pohon. Tapi Ayah Calvin tak mengizinkannya.

Abi Assegaf dan Ummi Alea tersenyum memperhatikan Jose. Terlihat Abi Assegaf menelepon seseorang.

"Adica anakku...pulang ya. Ada keponakan kesayanganmu."

**    

Jose betah tinggal di mansion keluarga Assegaf. Ketiga anggota keluarga itu sangat menyayanginya. Bahkan Paman Adica rela meninggalkan flat mewahnya dan tinggal untuk sementara di sana.

Jose tahu bahwa keluarga Assegaf sangat rendah hati. Keluarga Assegaf memiliki segalanya, namun mereka tetap menginjak bumi. Satu hal lagi yang disukai Jose dari mereka: budaya minta maaf. Meski tidak salah, Abi Assegaf dan Ummi Alea tak gengsi minta maaf duluan. Paman Adica pun begitu. Jose bisa melihat sisi lain Paman Adica saat bersama kedua orang tuanya.

"Paman Adica..." Jose mengajaknya bicara di hari kedua.

"Ya, anak nakal?" balas Paman Adica, menengadah dari berkas-berkas perkara yang tengah dipelajarinya.

"Kok Paman mau jadi pengacaranya Ayah? Paman Adica kan kaya...bentar lagi pasti nerusin bisnisnya Abi."

"Pertanyaan bagus. Aku hanya ingin menolong Mr. Phlegm. Ayahmu itu seperti tulang rusuk yang patah. Dia rapuh. Dengan aku menjadi pengacaranya, aku bisa jadi tulang punggung yang menyangga dan menguatkannya."

Kepala Jose pusing mendengarnya. Apa hubungan Ayah Calvin dengan tulang rusuk? Membingungkan.

"Klien-klienku tidak tahu nama keluargaku. Mereka hanya tahu aku pengacara muda yang suka menolong perkara orang miskin tanpa dibayar." lanjut Paman Adica.

Wow, sangat rendah hati. Jose pun membandingkannya dengan keluarga Ayah Calvin. Di keluarga itu, hanya Ayah Calvin dan Opa Effendi yang menyayanginya. Para sepupu, paman, bibi, cucu, dan cicit atau entah apa itu, tak menyukai Jose. Kalau keluarga besar kumpul saat Imlek, Jose sering dikatai "darah campuran". Mereka mengatakannya dengan nada jijik.

Penghiburan Ayah Calvin tak cukup. Jose selalu merasa dirinya tak berguna. Apa salahnya kalau berdarah campuran?

"Anak nakal, ayo jujur. Lebih enak tinggal di sini atau di rumah si Dahak?"

Pertanyaan Adica membangunkannya. Belum sempat Jose menjawab, pintu balkon terbuka. Ummi Alea menghampiri mereka. Bibir dan ujung hidung mancungnya menyentuh kening Jose.

"Jose Sayang, Adica anakku...turun yuk. Ada baklava, kurma, ruz billaban, dan roti Maryam buat kalian."

Senja tiba. Pertanyaan Paman Adica menguap bersama wangi baklava dan butir kurma. Salah satu bisnis yang digeluti Abi Assegaf adalah supplier kurma, madu, dan coklat. Tak heran bila buah kesukaan Nabi itu jadi menu rutin di sana.

Mereka duduk mengitari meja makan. Masakan khas Timur Tengah disajikan satu per satu. Abi Assegaf mengambilkan ruzz billaban untuk Jose. Ia menuangkan porsi tambahan dengan lembut saat bocah tinggi dan tampan itu mau tambah lagi. Ummi Alea menanyai Jose tentang novel musikal yang ditulisnya. Paman Adica menyemangati Jose untuk terus latihan piano. Ah, nyamannya tinggal di sini. Seperti punya keluarga utuh. Ada ayah, ibu, dan kakak.

"Zaki..." Ummi Alea memanggil lembut nama depan Abi Assegaf.

"Rasanya kayak punya anak kecil lagi ya. Jadi ingat Adica waktu seumuran Jose..."

"Iya...persis seperti ini. Waktu itu kau belum sibuk dengan project-project kesetaraan gendermu." sahut Abi Assegaf halus.

"Dan kau masih jadi penyiar baru di radio itu."

Mereka berdua tertawa. Jose dan Paman Adica melirik mereka.

Jose nyaman tinggal bersama keluarga Assegaf. Namun, benarkah dia ingin tinggal di sana selamanya?

Abi Assegaf berusaha meniru Ayah Calvin dalam memperlakukan Jose. Dia menemani Jose di sepertiga malam. Jose senang sih, apa lagi pria botak yang tetap kharismatik itu tidak pernah meninggalkannya untuk muntah dan membersihkan darah. Ummi Alea selalu perhatian padanya. Paman Adica mensupportnya tanpa kenal lelah. Jose tak perlu resah dan bertanya-tanya tentang obat. Ketiga anggota keluarga Assegaf sehat.

Tapi...

Tak ada yang menemaninya tidur. Tak ada yang mau duduk di tepi ranjangnya tiap malam. Tak ada yang bisa membacakannya buku. Abi Assegaf sibuk dengan bisnis dan radio. Ummi Alea lebih sering berkutat dengan blog dan proyek-proyek kesetaraan. Paman Adica tenggelam berjam-jam di balik tumpukan kitab undang-undang dan berkas perkara.

Tak ada lagi kecupan hangat di kening Jose. Abi Assegaf hanya memberi pelukan, bukan ciuman. Hkata hati pantang berdusta.

Jose rindu Ayah Calvin. Rindu sekali. Beberapa kali Ayah Calvin meneleponnya. Ketika sang ayah menelepon, Jose hanya diam. Ia diam begitu lama. Pertanyaan-pertanyaan Ayah Calvin tentang keseharian enggan dijawabnya.

Makin hari, rindu ini kian membesar. Jose ingin memeluk Ayah Calvin. Abi Assegaf jelas beda dengan Ayah Calvin. Walau harus mengurus perusahaan, mengelola yayasan, dan menulis artikel, Ayah Calvin selalu ada buat Jose. Abi Assegaf memang tak pernah terlambat bangun, tetapi Ayah Calvin tak pernah melewatkan sehari pun untuk membuktikan betapa ia menyayangi Jose.

"Ayah...Jose mau peluk Ayah. Jose mau cium Ayah." erangnya di malam keenam.

**   

Ting tong

Bel berdering di pagi ketujuh. Jose, yang sedang berada di dekat pintu utama, membukanya.

Ia terbelalak kaget. Ayah Calvin berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat. Pancaran matanya kesakitan, meski tersimpan larik ketegaran.

"Ayah...!"

Jose menghambur ke pelukan Ayahnya. Ayah dan anak itu berpelukan erat. Ah, wangi ini, kehangatan ini, masih sama.

"Ayah memang kurang dalam segalanya...Ayah memang payah. Semua salah Ayah. Bangun saja terlambat." Ayah Calvin memaki dirinya sendiri, suaranya bergetar.

Jose menempel erat di dada Ayahnya. Tangan kirinya menarik-narik pelan lengan jas Versace milik sang ayah.

"Tapi Jose perlu tahu. Kondisi Ayah buruk sekali waktu itu. Ayah sangat kesakitan. Rasa sakit mengurangi waktu tidur," ujar Ayah Calvin lembut.

Mendengar itu, Jose terenyak. Sedih dan menyesal. Kenapa ia justru meninggalkan Ayahnya?

Ayah Calvin menangis, hidungnya berdarah. "Ayah yang meminta Abi Assegaf menjaga Jose. Selama Ayah sakit, jangan sampai Jose melihatnya."

Kian perih hati Jose. Jadi, itu alasannya? Alasan Ayah Calvin tidak memperhatikannya seminggu ke belakang?

Abi Assegaf, Ummi Alea, dan Paman Adica turun ke ruang depan. Tangan Abi Assegaf terulur, menepuk-nepuk punggung Ayah Calvin. Ummi Alea mengelus rambut Jose penuh kasih sayang. Paman Adica mengusap darah sampai bersih tanpa bicara.

"Jose sayang Ayah Calvin..." katanya tulus.

"Jose mau Ayah, bukan Abi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun