Siapa yang memberi ciuman
Ia berikan penawar racun cinta
** Â Â
Asyifa Assegaf mewarisi sifat introvert dan tertutup Abinya. Jangan harap ia mau membuka diri pada orang baru. Tak heran ia hanya bersahabat dengan sedikit orang. Sama seperti sang ayah, Syifa cenderung pemilih tetapi baik hati. Tertutup dan menjaga jarak adalah sifat naturalnya. Lihat saja apa yang terjadi sore ini.
Gadis cantik bergaun putih-kebiruan itu berdiri terpaku. Menatap kosong menembus keremangan di rooftop apartemen. Apartemen mewah di lantai 27 itulah basecamp grupnya.
"Syifa, kamu kenapa?"
Revan terburu mendekat. Pelan menyentuh lengan gadis itu. Tanpa menoleh, Syifa mengusir Revan.
"Aku ingin sendiri," katanya dingin.
"Nggak. Aku nggak akan tinggalin kamu sebelum kamu bilang ada apa."
Syifa menggeleng. Menepis kasar lengan Revan. Sejenak pria bermata biru itu berpikir, menduga penyebab anjloknya mood Syifa. Lalu ia teringat sesuatu.
"Oh, I know. Pasti karena Diana mencium Adica, kan?" tebaknya.
Mendengar itu, Syifa terperangah. Disambuti tawa meremehkan Revan.
"Ya ampun...Syifa, Syifa. Masa kamu jealous sama kakakmu sendiri? Brother complex!"
Ini bukan penghiburan, tapi judgement. Revan tak tahu sikon. Kian tebal mendung di wajah Syifa.
Dari kejauhan, Calvin memperhatikan Syifa. Ia tak bisa diam saja melihat Syifa dibully Revan. Dihampirinya putri bungsu Zaki Assegaf itu. Lembut ditepuknya punggung Syifa.
"Kalau kamu menangis, tanganku siap buat hapus air mata kamu." tawar Calvin.
Aura kharismatik Calvin sukses membungkam Revan. Yah, lagi-lagi malaikat tampan bermata sipit. Selalu bisa menenangkan. Revan mundur lima langkah.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Syifa tergugu. Air matanya terjun bebas membasahi pipi. Calvin memeluknya, pelukan persahabatan yang hangat penuh kasih. Cairan yang menyembur dari mata dan hidung Syifa membasahi jas putihnya. Tangisan kecemburuankah? Bukan, bukan hanya itu. Tetapi juga tangisan kesedihan.
Momen pelukan Calvin-Syifa tertangkap radar Adica. Satu kakinya melayang di anak tangga teratas, namun ia enggan melangkah. Rasa bersalah menghantam hati. Detik berikutnya, ia berlari ke rooftop. Biola putih meluncur keluar dari dalam tas yang mengurungnya.
Dengan lembut tapi cepat, Calvin melepas pelukannya. Memberi kesempatan bagi Adica dan Syifa. Terkagum-kagum mendengar alunan biola yang menggetarkan rasa.
KasihSudah ku akui
Semua salah ku
Pada mu
Beri aku kesempatan
Untuk buktikan cinta setia padamu lagi
Maaf, maafkan diriku
Yang telah membuat hatimu terluka
Hanya kau cintaku
Ku tak pernah pikir
Tuk pergi darimu
Walau hanya sekejap saja
Jangan pernah kau berpikir
Untuk tinggalkan diriku
Beri aku kesempatan
Untuk buktikan cinta setia padamu lagi
Maaf, maafkan diriku
Yang telah membuat hatimu terluka
Hanya kau cintaku
Ku tak pernah pikir
Tuk pergi darimu
Walau hanya sekejap saja
Kan kupeluk dirimu
Takkan kulepas lagi
Untuk buktikan cintaku
Kan kuhapus lukamu
Akhiri semua ini
Hanya untukmu
Maaf, maafkan diriku
Yang telah membuat hatimu terluka
Hanya kau cintaku
Ku tak pernah pikir
Tuk pergi darimu
Walau hanya sekejap
Janjiku, janjiku padamu
Tuk mencintaimu
Sekali dalam hidupku
Kasihku dengarkan
Hanya engkau yang bisa
Temani hidup ini
Sampai akhir usia kita (Rio Febrian-Maafkan).
Adica bernyanyi dan bermain biola tepat di depan Syifa. Berusaha meluluhkan hati gadis itu, mendapat maaf darinya.
Syifa menundukkan wajah, menghindari pandangan Adica. Kerak-kerak es di dinding hatinya luluh berantakan. Bola matanya berawan.
Calvin terenyuh. Begitu cara Adica meminta maaf. Ia takkan menghakimi, sungguh takkan menghakimi. Bahkan pria tampan itu tergerak memainkan piano. Sayangnya, tak ada piano di sini.
Revan bertolak pinggang. Ia mengerti, sungguh mengerti arah perasaan Adica dan Syifa. Janggal, pikirnya. Beginikah kakak dan adik saling menyayangi?
Bukan, itu bukan rasa sayang kakak-beradik. Benang konklusi menyatu. Sejurus kemudian, Revan berbalik. Diam-diam menyelinap meninggalkan apartemen.
Jari-jari lentik Syifa menyambut uluran tangan kokoh nan hangat milik Adica. Mereka bertatapan, lama. Makin dalam tatapan mereka. Makin dalam hati mengukir rasa.
"Mengapa kauterima saja ciuman Diana?" desah Syifa.
"Aku refleks, Syifa. Tadi aku sangat takut. Aku mengkhawatirkan Abi. Diana datang menciumku. Ciuman bisa meringankan stress, begitu katanya."
Tanpa diberi tahu pun, Syifa paham manfaat ciuman secara psikologis. Tapi mengapa harus Diana? Hatinya menjerit tak rela.
Tidak, seharusnya Calvin pergi menyusul Revan. Ia tetap di sini. Bukan bermaksud mengganggu, bukan pula ikut campur. Dia hanya mencemaskan kakak-beradik Assegaf. Itu saja.
Tangan Adica dan Syifa bertaut. Lama-kelamaan, jarak di antara mereka menyempit. Adica mendekatkan wajahnya ke wajah Syifa. Angin berdesir halus, memainkan rambut mereka. Di kaki langit sebelah barat, bola merah keemasan memendarkan cahaya terakhirnya. Siap mengucap salam perpisahan. Ditingkahi lambaian sedih lembayung dan seberkas warna ungu kemerahan.
Wajah mereka kian dekat. Kian dekat, kian dekat, kian dekat. Syifa menikmati ketampanan kakaknya dari jarak terdekat. Adica dapat melihat ujung hidung Syifa memerah, dapat melihat bekas-bekas air mata di wajahnya yang cantik. Sungguh, jarak mereka kini tak terpisah sesenti pun. Tepat ketika ujung bibir mereka nyaris bersentuhan...
"Uhuk..."
Spontan Adica dan Syifa melompat berpisah.
Oh tidak, sekarang Calvinlah perusaknya. Tak sengaja ia menjatuhkan iPhonenya. Calvin terbatuk, noda darah mengotori jas putihnya. Punggungnya serasa ditusuk ratusan jarum jahat.
"Calvin, are you ok?" tanya Adica dan Syifa, tergesa mendekati sahabat mereka yang paling tampan itu.
"I'm good. Sorry..."
Anehnya, Adica dan Syifa tak marah. Kekhawatiran tercermin di mata mereka.
"Belakangan ini kau sering batuk darah dan sakit punggung," Adica berbisik ke langit-langit. Calvin tahu, ujaran itu ditujukan untuknya.
"Bagaimana rasanya, Calvin?"
Demi Nabi Nuh yang menaikkan semua orang beriman ke bahteranya, Calvin tak ingin membahas topik ini. Dia beringsut bangkit, mengabaikan rasa sakit.
"Sudah kubilang aku baik-baik saja, Syifa."
Keras kepala, gumam Adica dan Syifa dalam hati. Sisi lain Calvin Wan di balik kelembutan dan kesabarannya.
** Â Â
Selang nasogastrik dipasangkan. Adica dan Syifa menggenggam erat tangan Abi Assegaf. Berbisik menguatkan. Lembut menenangkan ayah mereka.
Calvin berdiri di kaki ranjang. Tak tega melihat Abi Assegaf kini harus memakai selang makanan. Punggungnya dibanjiri keringat dingin. Suatu saat nanti, ia akan seperti itu juga.
Dibandingkan selang G dan J, pemasangan selang nasogastrik lebih mudah. Tak perlu dilakukan operasi kecil. Operasi kecil pemasangan selang makanan berisiko perdarahan dan infeksi. Adica dan Syifa tidak ingin terjadi sesuatu lagi pada Abi Assegaf.
Abi Assegaf mengalami Disfagia (sulit menelan). Satu lagi konsekuensi menyakitkan dari kanker yang dideritanya. Retinoblastoma itu telah bermetastasis ke beberapa organ penting.
"Adica anakku..." lirih Abi Assegaf. Gelap pandangan matanya, namun hati ayah ideal ini lembut bercahaya. Dia bisa merasakan kehadiran putra-putrinya begitu dekat.
"Iya, Abi. Adica di sini. Sama Syifa. Ada Calvin juga."
Syifa dan Calvin berganti menyentuhkan tangan mereka ke tangan kurus Abi Assegaf.
"Maafkan Abi...maaf telah menyusahkan kalian."
Nada bersalah tertangkap kuat dalam suara lirih itu. Abi Assegaf bernafas cepat, matanya berkaca-kaca. Air bening itu diseka lembut tangan Syiffa.
"Tidak ada yang merasa direpotkan, Abi." ujar gadis itu halus.
Sesaat Calvin memejamkan mata. Bertaruh dengan dirinya sendiri, kapan waktunya tiba? Waktu ketika ia harus menyamai Abi Assegaf. Terbaring tanpa daya di ranjang besar penuh peralatan medis. Dikelilingi orang-orang yang bersedih.
"Abi pasti mampu melewatinya," kata Calvin setelah menguatkan diri.
Hancurkah hati Abi Assegaf bila mengetahui kedua permata hatinya saling mencintai?
** Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI