Jari-jari lentik Syifa menyambut uluran tangan kokoh nan hangat milik Adica. Mereka bertatapan, lama. Makin dalam tatapan mereka. Makin dalam hati mengukir rasa.
"Mengapa kauterima saja ciuman Diana?" desah Syifa.
"Aku refleks, Syifa. Tadi aku sangat takut. Aku mengkhawatirkan Abi. Diana datang menciumku. Ciuman bisa meringankan stress, begitu katanya."
Tanpa diberi tahu pun, Syifa paham manfaat ciuman secara psikologis. Tapi mengapa harus Diana? Hatinya menjerit tak rela.
Tidak, seharusnya Calvin pergi menyusul Revan. Ia tetap di sini. Bukan bermaksud mengganggu, bukan pula ikut campur. Dia hanya mencemaskan kakak-beradik Assegaf. Itu saja.
Tangan Adica dan Syifa bertaut. Lama-kelamaan, jarak di antara mereka menyempit. Adica mendekatkan wajahnya ke wajah Syifa. Angin berdesir halus, memainkan rambut mereka. Di kaki langit sebelah barat, bola merah keemasan memendarkan cahaya terakhirnya. Siap mengucap salam perpisahan. Ditingkahi lambaian sedih lembayung dan seberkas warna ungu kemerahan.
Wajah mereka kian dekat. Kian dekat, kian dekat, kian dekat. Syifa menikmati ketampanan kakaknya dari jarak terdekat. Adica dapat melihat ujung hidung Syifa memerah, dapat melihat bekas-bekas air mata di wajahnya yang cantik. Sungguh, jarak mereka kini tak terpisah sesenti pun. Tepat ketika ujung bibir mereka nyaris bersentuhan...
"Uhuk..."
Spontan Adica dan Syifa melompat berpisah.
Oh tidak, sekarang Calvinlah perusaknya. Tak sengaja ia menjatuhkan iPhonenya. Calvin terbatuk, noda darah mengotori jas putihnya. Punggungnya serasa ditusuk ratusan jarum jahat.
"Calvin, are you ok?" tanya Adica dan Syifa, tergesa mendekati sahabat mereka yang paling tampan itu.