Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Permintaan Terakhir

12 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 12 Oktober 2018   11:46 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarum jam berjatuhan. Sepertiga malam merentang. Di antara waktu yang menderu, Calvin terbangun. Bangkit dari ranjang king sizenya yang empuk, meraih remote AC dan menekan tombol off, lalu mengambil air wudhu. Tahajudnya malaikat. Allah dan para malaikatNya melihat dari langit sana.

Dalam malam yang membiru, Adica melipat rapi selimutnya. Jangan harap ada asisten rumah tangga yang melakukan itu. Kondisi telah berubah. Semua tak lagi sama. Selesai berkutat dengan selimutnya, pemuda itu membiarkan air dingin membasahi pori-porinya. Sajadah menghampar, saatnya berdiskusi dengan Tuhan. Mudah-mudahan Tuhan masih punya waktu mendengarkan pengaduan pemuda sederhana yang telah jatuh dari keangkuhan.

Pria berkacamata itu terlarut dalam zikirnya. Ia tak butuh tasbih. Ingatan dan konsentrasinya cukup kuat. Harapannya melambung ke langit ketujuh, berharap seminar proposal hari ini lancar.

Biji-biji tasbih di tangan Adica berputar. Berulang kali konsentrasinya pecah. Sekali-dua kali ia bahkan tertidur. Godaan setan memang luar biasa. Setan akan senang bila menggoyahkan manusia dari imannya. Pemuda tampan orientalis itu beristighfar, meminta maaf karena terlena dengan kantuk dari pada mengutamakan diskusi dengan Tuhan.

Malam merayap berganti pagi. Calvin kembali dengan rutinitasnya: membilas diri dengan air hangat, menikmati wangi busa sabun di bathtub, mengenakan suite hitam Versace, meneguk segelas susu full cream, dan merasakan manisnya selai coklat dari balik setangkup roti. Ia pergi pagi-pagi sekali. SUV putih itu dikendarainya dengan mulus. Calvin pergi diiringi tatapan penuh kasih sayang Tuan Effendi dan kecupan hangat Nyonya Rose. Mereka berjanji akan menyusulnya ke kampus. Saatnya seminar proposal.

Reminder di smartphonenya menjerit. Adica tahu. Ketika pagi datang, ketika itulah satu hari panjang dan melelahkan harus dimulai. Tak ada air hangat di kamar mandi. Sarapan paginya hanyalah segelas air putih. Cukup mengenyangkan bagi yang sudah terbiasa. Setelah mengunci pintu rumah mungilnya, pemuda berkemeja putih tanpa merk itu mengayun langkah ke sebuah kios koran. Kios koran itu hanya berjarak seratus meter. Koh Bast telah menanti. Sebenarnya ia bernama Sebastian, tapi lebih suka dipanggil Bast. Bukan hanya Koh Bast, Adica disambut tumpukan koran yang meninggi. Masih bertahan juga usaha satu ini, mengingat senjakala media cetak sedang berlangsung. Dengan semangat baru, Adica meraih tumpukan koran. Siap mengantarnya ke rumah-rumah pelanggan.

Seminar proposal skripsi berjalan lancar. Calvin membuat seminar yang lain dari pada yang lain. Ia membuat teman-teman mahasiswa dan para dosen pengujinya terpana. Seorang dosen memuji penguasaan materinya luar biasa. Sesi presentasi ditutup dengan cerita diiringi lagu Untukmu Aku Bertahan. Mana ada seminar proskrip macam itu? Usai seminar, Calvin membagikan coklat untuk penanya dan pembahas. 12 batang coklat dibagi-bagikannya. Kreatif dan inspiratif, tak pernah ada seminar proskrip se"wow" itu sebelumnya. Alhasil, Calvin banjir pujian dari para dosen, teman-teman mahasiswa, dan kedua orang tuanya.

Sepeda pinjaman itu dikayuhnya. Satu demi satu ia antarkan koran ke rumah pelanggan. Dengan ragu bercampur takut, beberapa kali Adica melempar koran ke teras ketika didapatinya rumah pelanggan kosong. Perjalanan dari rumah ke rumah membawanya ke depan sebuah gedung universitas ternama. Hatinya pedih menatapi ukiran nama dan logo di gerbang putih. Betapa rindu Adica pada kampus almamaternya. Kini ia tak bisa menginjakkan kaki lagi ke sana. Bukannya malas, hanya semesta yang tidak berpihak. Biaya di universitas mahal pilihan almarhum Papanya terlalu mencekik. Dua semester ia masih sanggup membiayai, walaupun terpatah-patah. Semester berikutnya, ia menyerah. Dunia memang kejam.

Kebahagiaan Calvin pasca seminar tak berlangsung lama. Tengah menikmati sinar prestise dan kebanggaan, rasa sakit itu datang. Calvin mimisan, lalu jatuh pingsan di pelukan Tuan Effendi. Segera saja ia dilarikan ke rumah sakit. Orang-orang cemas, berebutan menuliskan doa di media sosialnya. Bodoh sekali mereka. Orang sakit tak butuh pesan sosmed. Mereka memerlukan support dan kehadiran nyata. Ruangan VIP super mewah telah menyambut. Tim dokter terbaik menanganinya. Calvin tak perlu merasakan pahitnya derita pasien BPJS yang harus mengantre panjang dan menerima perlakuan ketus dari tenaga kesehatan. Dalam kondisi sakit, malaikat tampan bermata sipit itu tetap diperlakukan dengan penuh kasih.

"Kamu lelah?" tanya Koh Bast, meletakkan segelas teh manis.

"Iya..." jawab Adica jujur. Pelan menyesap teh buatan bosnya itu.

Koh Bast menepuk pelan punggungnya. "Kesabaran dekat dengan kebahagiaan. Sabarlah, saya selalu berdoa agar dukamu cepat berlalu."

"Saya rindu Papa. Rindu pelukannya, caranya merawat saya ketika sakit...well, saya rindu segalanya tentang Papa."

"Bukan rindu hartanya, kan?" canda Koh Bast.

Adica tertawa hambar. Soal harta Michael Wirawan, bukan lagi prioritasnya. Ia jauh lebih merindukan sosok sang Papa dibandingkan harta dan kejayaan masa lalu. Kasih sayang seratus kali lipat lebih berharga dari harta keduniawian.

"Tian, bagaimana kondisi anakku?" tanya Tuan Effendi dengan nafas memburu. Ekspresi wajahnya cemas luar biasa.

"Dari hasil anamnesis, diketahui Calvin punya riwayat infeksi ginjal. Sementara, baru sebatas itu. Akan kulakukan pemeriksaan lanjutan. Semoga asumsiku keliru." jawab Dokter Tian, suara lembutnya menyelipkan sepercik nada khawatir.

Nyonya Rose bernafas cepat. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu apa asumsi itu. Ah, tak terbayangkan hancurnya hati bila asumsi itu benar.

**      

Apa yang ditakutkan terjadi. Bukan sekedar infeksi, tetapi kanker. Sel-sel ganas itu menggerogoti Leukosit, menjadikan produksi sel darah putih abnormal. Ini menyakitkan, sangat menyakitkan.

Ironi menghantam Calvin. Belum lama ia merasakan manisnya prestasi dan kebanggaan. Kini, tubuhnya terkalahkan penyakit stadium lanjut.

Marahkah ia dengan kondisi ini? Tidak, Calvin sama sekali tidak marah. Kelembutan di hatinya menjauhkan dari amarah. Ia hanya menerima, terus berusaha menerima. Tak hanya itu. Calvin berserah diri, berserah diri atas takdir hidup yang harus dijalaninya.

SUV putih kesayangannya melaju meninggalkan rumah mewah di lereng bukit. Bukan Calvin yang duduk di balik kemudi, melainkan Tuan Effendi. Jangan harap dia boleh menyetir lagi sejak vonis laknat jatuh.

Tuan Effendi membaca keresahan di mata putra tunggalnya. Seraut wajah tampan itu pucat, sarat kecemasan. Calvin cemas menghadapi kemoterapi pertamanya. Perjalanan ke rumah sakit menaikkan tensi kekhawatiran.

Demi menyamankan anak satu-satunya, Tuan Effendi menyalakan radio mobil. Ia tahu Calvin suka musik. Mendengarkan musik dalam perjalanan ke rumah sakit mungkin akan membuatnya lebih baik.

"97.6 FM Refrain, Brilian and inspiratif." Terdengar suara barithon si penyiar menyebutkan call id.

"Selamat siang pendengar. Bertemu lagi dengan saya, Adica Wirawan, dalam program Musik Pelepas Lelah, edisi Jumat, 12 Oktober. Sebagai pembuka, akan saya putarkan sebuah lagu. Hmmm...gimana ya? Lagu ini bukan lagu baru, tapi nggak terlalu lama sih. Penasaran? Ini dia."

Sedetik kemudian, lagu mengalun lembut. Lagu-lagu yang diputarkan saat program satu ini mengudara tipe lagu bertempo slow dan melankolik.


Tak bisa aku ingkari

Engkaulah satu-satunya

Yang bisa membuat jiwaku

Yang pernah mati menjadi berarti

Namun kini kau menghilang

Bagaikan ditelan bumi

Tak pernahkah kausadari arti cintaku untukmu

Entah dimana dirimu berada

Hampa terasa hidupku tanpa dirimu

Apakah di sana kaurindukan aku

Seperti diriku yang selalu merindukanmu

Selalu merindukanmu (Ari Lasso-Hampa).

Calvin terenyak. Alunan musik itu, dan suara penyiarnya, merasuk ke dalam hati. Ia bersandar ke tempat duduk mobilnya yang empuk, sesaat memejamkan mata.

"Papa?" panggil Calvin lirih.

"Iya...kenapa, Sayang?"

"Aku ingin punya adik. Papa mengerti kan maksudku?"

Mendengar itu, Tuan Effendi nyaris menabrak mobil di depannya. Cepat-cepat iaa menguasai diri. Masa lalu membayangi, pahit dan menyakitkan.

"Iya Calvin, Papa akan berusaha. I will do my best, Dear."

"Seperti diriku...yang selalu merindukanmu." Adica bernyanyi pelan, mengikuti alunan lagu.

Studio radio begitu dingin. Sedingin hatinya yang telah lama dihantam kesedihan. Ia mencatat dalam benaknya. Selesai siaran, ia akan mendatangi makam itu seperti biasa.

"Papa...apa di surga sana Papa merindukanku?"

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun