Malam merambat pelan. Jarum-jarum jam berjatuhan. Samar, dari bawah bukit, terdengar suara takbir.
Hujan telah berhenti. Menyisakan udara sejuk dan segar. Kelamnya langit terburai, tergantikan kerlip cahaya bintang dan senyum lemah sang bulan. Malam jelang hari raya yang cerah.
Sayangnya, malam ini tak secerah hati Calvin. Pria oriental itu naik ke balkonnya. Menatap sendu langit berbintang dari ketinggian.
Tak kuat lama-lama berdiri, Calvin menjatuhkan tubuhnya di sofa hitam. Masih terbayang kemarahan Revan di sore berhujan. Masih terasa sisa rasa sakit bekas tamparannya. Calvin tak marah, sama sekali tak marah. Tidak membalas bukan berarti lemah. Calvin justru ikhlas Revan menamparnya. Ia ingin menunjukkan sisi baik Muslim sejati. Di mata Calvin, Muslim sejati harus sabar, baik hati, lembut, penyayang, dermawan, dan tidak mudah terprovokasi.
Pikirannya bercabang. Ia memikirkan kemarahan Revan, sahabat-sahabatnya yang bingung harus membela siapa, sikap dingin Silvi, dan kesedihan Angel. Ya, Calvin tak bisa berhenti memikirkan anak cantik itu. Angel begitu enggan berpisah dengannya saat Calvin mengantarnya pulang. Tak bisa diingkari, Calvin pun enggan berpisah.
Dengan resah, Calvin memainkan iPhonenya. Amat berharap ada notifikasi dari Silvi. Ekspektasinya nihil. Silvi tak menghubunginya. Tak juga menjawab pesan-pesannya. Sepertinya ia dipengaruhi Revan untuk tidak lagi memperhatikan Calvin. Menyakitkan sekali.
Bel pintu berbunyi. Perhatiannya teralih. Namun ia tak bergerak seinci pun dari tempatnya. Untuk kali ini, biarkan saja satu dari sembilan pegawai di rumah besarnya membukakan pintu. Ah tidak, ini sangat tidak khas Calvin. Kemanakah Calvin Wan yang selalu rajin dan memuliakan tamu?
Selang sepuluh menit, pintu kaca bergeser terbuka. Asisten rumah tangga termuda berdiri tegak di ambang pintu. Sedikit membungkuk, ia berkata.
"Tuan, ada Mas Bram di bawah. Katanya mau ajak Tuan ke bawah bukit."
Sontak Calvin bangkit berdiri. Ia teringat janjinya dengan tetangga lawyernya itu. Pastilah Bram dan yang lainnya sudah menunggu.
"Hai Calvin. Ah...are you ok?" sapa Bram hangat, tatapannya berubah menyelidik saat Calvin menuruni anak tangga terakhir.