Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Raya Malaikat Kesepian

22 Agustus 2018   05:45 Diperbarui: 22 Agustus 2018   06:02 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Plak!

Tamparan mendarat mulus di pipi Calvin. Dilakukan dengan penuh kemarahan oleh seseorang berstatus sahabat. Calvin terenyak, sakitnya tamparan Revan tak seberapa dibanding pedih di hati.

"Revan, aku tak bermaksud..."

"Stop. Jangan bertengkar di depan anak-anak." Rossie menyela cepat, menarik paksa lengan Calvin dan Revan ke luar kapel.

Calvin menoleh dengan cemas. Ia lega karena Angel masih khusyuk dengan doanya.

Di luar kapel, dinginnya angin dan tempias hujan menampar-nampar tubuh mereka. Revan mengangkat tangannya, bersiap menampar Calvin lagi. Namun Rossie menahannya.

"Bela saja dia! Atau kau sudah mulai jatuh cinta dengannya?!" hardik Revan, menepis kasar tangan Rossie.

Kekasaran Revan sukses menciptakan efek kejut listrik di hati Calvin dan Rossie. Sebelumnya Revan tak pernah sekasar ini. Benarkah cemburu telah menggerus kelembutan?

"Sejak kapan kalian bermain api di belakangku?" tanya Revan, nadanya interogatif.

"Aku dan Rossie tidak pernah bermaksud bermain api di belakangmu, Revan." jawab Calvin sabar.

"Jangan menipuku, Calvin Wan!"

Ini berbahaya. Jika sudah menyebut nama panjang, pertanda amarah.

Rossie tersedu. Air mata membasahi pipi putihnya. Ia berusaha memegang tangan Revan, namun pria berambut pirang dan bermata biru itu mundur menjauh.

"Demi Allah, aku tak pernah punya keinginan untuk mendua, Revan. Hanya kamu pria yang kucintai..." ujar Rossie dengan suara bergetar menahan kesedihan.

Alis Revan terangkat tinggi. Nampaknya ia tak mempercayai kata-kata Rossie. Lengannya terlipat, lalu ia membalikkan tubuh dan menatap langit.

Di bawah hujan yang menderas, Revan bernyanyi.

Kini ku tahu

Bila cinta tak bertumpu pada lidah

Lidah bisa berkata

Namun hati tak sejalan

Kata-kata tak menjamin cinta...

Hati Calvin tertusuk mendengarnya. Sakit, sakit sekali. Kesalahpahaman berujung sarkasme. Tanpa pikir panjang, ia lanjutkan nyanyian Revan.

Untuk apa

Untuk apa cinta tanpa kejujuran

Untuk apa cinta tanpa perbuatan

Tak ada artinya

Untuk apa

Untuk apa cinta tanpa pembuktian

Untuk apa status kita pertahankan

Bila sudah tak lagi cinta (Maudy Ayunda-Untuk Apa).

Derasnya hujan tak mengaburkan kejernihan suara mereka. Suara bass Calvin yang empuk berpadu dengan suara barithon Revan yang merdu. Dua pria tampan itu berdiri berpunggungan, bernyanyi di bawah hujan. Mungkin mereka terinspirasi film Singing in The Rain.

Sementara di dekat mereka, seorang wanita cantik menangis. Menangisi kesalahannya, menangisi apa yang terjadi.

**    

Malam merambat pelan. Jarum-jarum jam berjatuhan. Samar, dari bawah bukit, terdengar suara takbir.

Hujan telah berhenti. Menyisakan udara sejuk dan segar. Kelamnya langit terburai, tergantikan kerlip cahaya bintang dan senyum lemah sang bulan. Malam jelang hari raya yang cerah.

Sayangnya, malam ini tak secerah hati Calvin. Pria oriental itu naik ke balkonnya. Menatap sendu langit berbintang dari ketinggian.

Tak kuat lama-lama berdiri, Calvin menjatuhkan tubuhnya di sofa hitam. Masih terbayang kemarahan Revan di sore berhujan. Masih terasa sisa rasa sakit bekas tamparannya. Calvin tak marah, sama sekali tak marah. Tidak membalas bukan berarti lemah. Calvin justru ikhlas Revan menamparnya. Ia ingin menunjukkan sisi baik Muslim sejati. Di mata Calvin, Muslim sejati harus sabar, baik hati, lembut, penyayang, dermawan, dan tidak mudah terprovokasi.

Pikirannya bercabang. Ia memikirkan kemarahan Revan, sahabat-sahabatnya yang bingung harus membela siapa, sikap dingin Silvi, dan kesedihan Angel. Ya, Calvin tak bisa berhenti memikirkan anak cantik itu. Angel begitu enggan berpisah dengannya saat Calvin mengantarnya pulang. Tak bisa diingkari, Calvin pun enggan berpisah.

Dengan resah, Calvin memainkan iPhonenya. Amat berharap ada notifikasi dari Silvi. Ekspektasinya nihil. Silvi tak menghubunginya. Tak juga menjawab pesan-pesannya. Sepertinya ia dipengaruhi Revan untuk tidak lagi memperhatikan Calvin. Menyakitkan sekali.

Bel pintu berbunyi. Perhatiannya teralih. Namun ia tak bergerak seinci pun dari tempatnya. Untuk kali ini, biarkan saja satu dari sembilan pegawai di rumah besarnya membukakan pintu. Ah tidak, ini sangat tidak khas Calvin. Kemanakah Calvin Wan yang selalu rajin dan memuliakan tamu?

Selang sepuluh menit, pintu kaca bergeser terbuka. Asisten rumah tangga termuda berdiri tegak di ambang pintu. Sedikit membungkuk, ia berkata.

"Tuan, ada Mas Bram di bawah. Katanya mau ajak Tuan ke bawah bukit."

Sontak Calvin bangkit berdiri. Ia teringat janjinya dengan tetangga lawyernya itu. Pastilah Bram dan yang lainnya sudah menunggu.

"Hai Calvin. Ah...are you ok?" sapa Bram hangat, tatapannya berubah menyelidik saat Calvin menuruni anak tangga terakhir.

"Kenapa memangnya?" Calvin balik bertanya.

"Wajahmu pucat sekali. Dan kamu kelihatan banyak pikiran."

Calvin mendesah. Enggan bercerita pada pria berdarah Jawa, Belanda, dan Arab itu. Meskipun bertetangga dan telah lama kenal dekat, Calvin tak semudah itu membuka hati.

"Ya sudah kalau aku tak boleh tahu. Ehm...ke masjid yuk. Prepare buat besok."

Calvin meraih kunci mobil di atas nakas. Berjalan mengikuti Bram ke halaman. Sambil berjalan, ia meminta maaf karena melupakan kewajibannya. Ia menyesal tak bisa memimpin mereka dengan baik untuk penyambutan hari raya.

"No problem. Mungkin kamu lagi banyak masalah. Pemimpin kan juga manusia," Bram tersenyum penuh pengertian.

Ada sebelas unit rumah di lereng bukit itu. Rata-rata dihuni milenials sukses bergaji besar. Ada yang sudah berkeluarga, ada pula yang masih melajang. Calvin menjadi orang nomor satu di lingkungan itu. Bukan karena rumahnya paling besar dan mewah. Bukan pula karena kekayaannya. Melainkan karena kebaikan hati dan jiwa kepemimpinannya.

Sejak dipimpin Calvin, lingkungan tempat tinggal elite itu berbeda dari kompleks elite lainnya. Kompleks perumahan elite identik dengan individualistis dan ego tinggi. Sesama penghuni tak peduli, bahkan tak saling kenal. Sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Jangan samakan lingkungan tempat tinggal Calvin dengan mereka. Perlahan, Calvin mengajak mereka untuk hidup harmonis dan saling mengasihi. Tak mudah melakukan pendekatan pada sebelas keluarga kaya dan sibuk. Pada akhirnya ia berhasil. Berhasil membimbing mereka dengan sabar dan penuh kasih. Itulah sebabnya Calvin terpilih menjadi orang nomor satu di lingkungan rumah mewah sebelas unit di lereng bukit.

Sudah ada tujuh keluarga penghuni unit-unit rumah besar di lereng bukit ketika Calvin tiba di masjid. Masjid bawah bukit itu bercat putih. Perpaduan arsitektur Timur dan Barat menjadikan masjid ini unik. Kaligrafi Arab, huruf-huruf Mandarin, dan tulisan Latin terukir indah di pilar, dinding keramik, dan tangga marmer. Masjid dua lantai ini dibangun beberapa pengusaha mualaf keturunan Tionghoa dan Indo-Eropa. Calvin menyumbangkan dana besar untuk pembangunannya.

"Hei, ada Pak Ketua RT ganteng. Kayaknya kamu aja deh, ketua lingkungan paling ganteng di Indonesia." sambut Calisa ceria di depan kaki tangga.

Beban berat di hati Calvin terurai. Ia lega karena Calisa tidak bersikap dingin padanya. Seolah tak terjadi apa-apa.

"Kenapa? Kok liatin aku kayak gitu? Aku cantik ya, pakai abaya?" Calisa memain-mainkan lipatan abaya berwarna gold yang dikenakannya.

Calvin tersenyum. "Aku hanya bertanya-tanya. Kalau Anton dengar kalimatmu tadi, apa reaksinya ya?"

"Oh, tenang saja. Dia tidak sechildish Revan. Anton bukan tipe pencemburu."

Tak ada ruginya juga Calvin dan Calisa bertetangga. Dengan begitu, Calvin punya tempat curhat yang tepat dan terpercaya di dekat rumah. Dulu, sempat beredar rumor Bram naksir Calisa. Tapi, begitu tahu Calisa sudah memilih yang lain, Bram mati langkah.

Mereka pun menyibukkan diri dengan persiapan menyambut hari raya. Tahun ini, jumlah kurban lebih banyak dari tahun sebelumnya. Progres menggembirakan. Kekayaan bertambah, iman meningkat. Banyak Muslim makin kaya makin religius dan dermawan.

Lingkungan masyarakat yang dipimpin Calvin tergolong majemuk. Sembilan keluarga Muslim, satu keluarga Katolik, satu keluarga Buddha. Dua keluarga Tionghoa, satu keluarga Arab-Indo-Eropa, tiga keluarga India, satu keluarga Minahasa-Portugis, satu keluarga Batak-Belanda, satu keluarga Minang-Inggris, dan dua keluarga Melayu-Jerman. Mereka hidup bersama dalam keragaman. Saling mengasihi dalam perbedaan. Tak pernah membahas perbedaan yang ada demi saling menjaga perasaan.

Pria-wanita berwajah bule dan oriental mondar-mandir di sekeliling masjid. Membersihkan masjid, menyiapkan bambu dan kantong-kantong plastik, mengasah pisau, dan mendata sesuatu. Kesibukan yang semarak, ceria, dan penuh warna. Menyambut datangnya hari raya, hari raya yang mengingatkan pada ketaatan Nabi Ibrahim.

Meski ikut bahagia bersama lainnya, Calvin masih bisa merasakan hatinya berdenyut sakit. Mendekati hari raya begini, ia justru berjauhan dengan Revan. Sungguh tak enak. Belum pernah ia jauh dengan Revan di saat hari raya.

Lebih menyakitkan lagi, Silvi pun ikut menjauhinya. Mungkin Silvi kecewa. Mungkin juga marah. Tidakkah Silvi dan Revan mau menerima penjelasan Calvin?

**     

Sekali lagi, Calvin menatapi refleksi dirinya di cermin. Perfect. Setelan jas Christian Dior membalut sempurna lekuk tubuhnya. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Calvin bergegas meninggalkan rumah. Langkahnya ringan saat menuruni bukit.

Hari raya tiba, khidmat dan bahagia. Shalat Ied berlangsung khusyuk. Calvin mengimami shalat dengan stylenya. Pria tampan itu shalat dengan memakai jas, kebiasaannya sejak remaja. Mengadopsi shalat gaya Timur Tengah dan Turki.

Saat hewan-hewan itu dipotong, Calvin sengaja menghindar. Sebagai penyayang binatang, ia tak bisa melihat binatang dibunuh atau disiksa.

"Aku temani kamu," kata Calisa, memegang lembut tangan Calvin.

Di tengah kemeriahan hari raya, Calvin merasa kesepian. Ia masih belum berbaikan dengan Revan hingga tibanya hari raya penghormatan untuk Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini. Calvin kesepian, sungguh kesepian.

"Jangan sedih. Seiring waktu, Revan akan mengerti." Calisa menghiburnya.

Ketika ekspresi wajah Calvin tak juga berubah, Calisa menyikutnya. "Come on. Berbahagialah. Nikmati saja hari rayanya. Beri penghargaan pada dirimu sendiri, karena tahun ini kamu bisa berkurban dua ekor sapi. Aku hanya bisa satu. Itu karena kamu lebih kaya dan hebat dariku."

Senyuman tipis merekah perlahan di wajah tampan Calvin. Ia tebarkan sugesti positif di hati. Membenarkan ajakan Calisa untuk menikmati hari raya.

Beberapa jam berikutnya, Calvin sendiri yang membagikan daging kurban. Ia tak mau dibantu sesiapa. Alphard mewahnya dipenuhi kantong-kantong plastik dan kotak-kotak besar.

Calvin turun ke jalan membagi-bagikan daging pada mereka yang membutuhkan. Pria tampan itu tidak canggung berbaur dengan orang miskin dan terlantar. Dengan cepat, kantong-kantong plastik itu berpindah tangan. Dari tangan malaikat tampan bermata sipit ke tangan tunawisma, anak jalanan, juru parkir, pengemis, penarik becak, supir angkutan umum, penjaga vihara, penyapu jalan, penjaga palang pintu kereta, dan pemulung. Sekejap saja, aksi Calvin merebut hati para pengguna jalan. Mereka semua terpana. Melihat mantan peragawan melenggang di jalan raya dan berbagi kasih. Menatapi senyum tulusnya, tatapan teduhnya, dan caranya berbagi.

Hati Calvin terasa ringan. Senang rasanya melihat wajah-wajah penuh senyum saat menerima pemberiannya. Seorang anak jalanan berkata lugu padanya, kalau ia dan keluarganya hanya bisa makan daging setahun sekali. Perkataan polosnya sukses membuat Calvin terharu. Betapa tak beruntungnya anak itu. Tetiba Calvin teringat daging melimpah di rumahnya, pesta-pesta sosialite yang didominasi menu dari olahan daging, dan suplai daging di Saudi Arabia untuk jamaah Haji. Kontras sekali dengan anak jalanan itu.

Aksi berbaginya tak berjalan mulus. Sebungkus daging terakhir di tangannya ditolak oleh seorang lelaki tua berpakaian kotor. Nampaknya dia seorang tunawisma.

"Ini pasti daging babi! Jangan harap kamu bisa menjebakku, anak muda kafir!" teriaknya, melotot ke arah kalung di leher Calvin. Kalung itu sedikit terlihat di balik kerah jas mahalnya.

Mendengar itu, Calvin menggigit bibirnya. Lagi-lagi prasangka. Prasangka yang berujung salah paham. Pastilah tunawisma itu menyangka Calvin memakai kalung salib. Dan penampilannya sama sekali tidak Islami.

"Bukan, Bapak yang baik. Ini bukan daging babi...saya hanya ingin berbagi. Agar Bapak bisa menikmati makanan yang sama dengan semua orang di hari raya," jelas Calvin sabar.

Ternyata kesabaran dan kelembutan Calvin tak memupus kecurigaan. Lelaki tua itu merampas bungkusan di tangan Calvin, lalu melemparnya. Isinya berhamburan. Tak sampai di situ saja. Ditamparnya tangan Calvin sekuat-kuatnya. Ia pun meludahi wajah Calvin.

"Pergi!"

Blogger dan pebisnis retail itu melangkah mundur. Merasa lebih kesepian dari sebelumnya. Dalam hati, Calvin mendoakan kebaikan untuk lelaki tua tunawisma itu. Benaknya berputar-putar mengingat kesalahpahamannya dengan Revan. Salah paham, mengapa datang berurutan dan menyakitkan?

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun