"Kamar rawat ini seperti penjara, Evita."
Evita menggigit bagian dalam pipinya. Sudah puluhan kali ia dengar protes malaikat tampan bermata sipit itu. Lembut dielusnya rambut Calvin.
"Sabarlah, Sayang. Kau boleh pulang dan kembali beraktivitas kalau sudah sembuh."
Calvin menyentuh pelan selang oksigen di hidungnya. Menatap pedih jarum infus di tangan kirinya. Cairan infus yang menetes seperti air yang makin mendekatkan pada kematian.
"Kaukira tinggal di president suite rumah sakit ini seperti surga? Aku rindu kehidupan normalku, Evita. Aku rindu rumah dan perusahaanku. Aku juga rindu putriku." ungkap Calvin sedih.
"I see. Kamu lupa sembilan pegawai yang dipekerjakan di rumah kita? Rumah akan terurus selama kita tinggalkan. Selama kamu sakit, ada staf-staf kepercayaanmu yang menghandel perusahaan. Leidya juga akan baik-baik saja. Ada tiga babysitter yang menjaganya."
Penjelasan Evita tak memudarkan kegundahan hati Calvin. Dalam kondisi sakit, ia justru memikirkan hal-hal lain. Bukan memprioritaskan diri sendiri.
Rasa tak berguna menyergap hati. Pria Desember itu meraih iPadnya. Kini Evita tak bisa mencegah. Ia biarkan saja suaminya itu menulis. Menulis artikel, hanya itu pelarian Calvin selama dirawat di rumah sakit.
Seperempat jam...setengah jam. 45 menit menulis, tetiba Calvin berhenti mengetikkan kata. Wajah tampannya semakin pucat. Dari hidungnya, mengalir darah segar.
Sebagai dokter pribadi yang telah lama menangani, khawatir tetap membayangi. Ia khawatir, sangat khawatir. Pelan-pelan disekanya darah itu.
"Berhentilah menulis, Calvin. Please...kau harus banyak istirahat." bujuk Evita lembut.