Sungguh tak enak menjadi Rossie. Tiap kali kasus-kasus SARA menjadi fenomenal, selalu saja ia kena perundungan. Serba salah. Rossie seolah menjadi minoritas di dalam minoritas. Dan, bagaimana bisa anak sekecil dirinya dipaksa mengerti soal kasus-kasus bermotif ras dan agama?
"Sabar ya, my Little Princess. Ini ujian buat Rossie. Jangan takut, Sayang." ujar Calvin menenangkan.
"Rossie harus gimana?" Anak cantik itu setengah takut, setengah putus asa.
Calvin mendekapnya makin erat. "Tetap sabar dan jangan takut. Kalau Rossie takut, teman-teman justru merasa menang. Orang yang membela kebenaran tidak boleh takut, Sayang. Begitu juga orang baik. Rossie kan baik."
Anggukan kepala Rossie membuncahkan semangat Calvin. Malaikat tampan bermata sipit itu melanjutkan kelas motivasinya.
"Tunjukkan kalau apa yang mereka sangka tidak benar. Rossie pasti bisa. Jangan menyerah. Tunjukkan kalau anak Muslim bukan teroris. Buktikan kalau anak secantik Rossie tidak seperti tuduhan mereka."
Malaikat tampan bermata sipit memercikkan motivasi. Rasa takut di hati Rossie perlahan melumat. Hancur menjadi remah. Perlahan lenyap tersapu angin pencerahan.
Bibir Rossie melengkung membentuk senyuman. Semangatnya bangkit. Ia berjanji takkan kalah dari teman-teman pembullynya. Tekadnya bulat.
Awan di bola mata Rossie menghilang. Kini tergantikan pelangi.
** Â Â
"Terima kasih ya, kamu bisa bujuk Rossie sekolah." kata Evita penuh terima kasih.