Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malaikat Melumat Rasa Takut

6 Agustus 2018   05:54 Diperbarui: 6 Agustus 2018   07:02 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bola mata gadis kecil berkulit putih itu berawan. Disusul hujan kristal bening yang menggenangi pelupuknya. Kedua bahunya bergetar hebat. Satu tangannya melempar tas sekolah bergambar Princess yang setia menemani hari-hari suramnya.

"Mommy, pokoknya Rossie nggak mau sekolah!" isaknya pilu.

Wanita cantik berbaju putih di sisinya mendesah sabar. Lembut mengelus kepala putri kecilnya.

"Kenapa, Sayang? Rossie kan harus sekolah. Biar jadi anak pintar. Katanya mau jadi dokter seperti Mommy."

Dokter yang gagal menyembuhkan suaminya sendiri, batin wanita itu perih. Jemari lentiknya tak berhenti mendaratkan belaian.

"Pokoknya Rossie nggak mau sekolah lagi!" Nada suara gadis kecil sembilan tahun itu meninggi.

Kesabaran sang dokter cantik belum pudar. Berupa-rupa cara ia gunakan. Bukan Dokter Evita namanya jika tak punya kesabaran menghadapi anak-anak. Apa lagi anaknya sendiri. Namun, tetap saja Rossie tak mau sekolah.

Habis sudah ide-ide di otaknya. Bagaimana lagi ia harus membujuk Rossie? Perlahan ia balik kanan, berjalan pelan keluar kamar. Meninggalkan Rossie di sisa tangisnya.

Langkah wanita yang telah setahun hidup sendiri itu terarah lurus ke balkon. Tiba di balkon, ia lemparkan gundahnya. Ia tatap langit, mengadukan resah.

"Adica...andai saja kau masih di sini. Tentunya takkan seberat ini." desahnya, sedih bercampur kehilangan.

Resah menyergap hati. Sedih menggenggam jiwa. Terkenang lagi suaminya yang telah pergi. Pergi ke surga, begitu kata Rossie setiap kali teringat Daddynya.

Baru kali ini dia kehabisan cara untuk menghadapi buah hatinya. Jangan samakan Rossie dengan anak-anak lain. Ia berbeda. Perasaannya jauh lebih sensitif. Perlu kehati-hatian untuk menghadapinya.

Si cantik Rossie juga tipe anak pemilih. Rossie tak mudah dekat dengan orang lain. Sekali dekat, ia akan terus dekat dan percaya. Sejauh ini, hanya ada tiga orang yang paling dekat dengannya: Adica, Dokter Evita, dan Calvin.

Calvin? Nama itu berputar-putar di hatinya. Ah, mengapa tidak terpikir dari tadi?

Pelan-pelan diraihnya benda cantik berwarna silver dan berlogo apel tergigit. Tak sulit mencari. Hanya ada satu nama Calvin di kontaknya. Juga di hatinya.

**     

Mungkin ruangan ini terlalu dingin. Tapi pria tampan berjas hitam di balik meja kerja tak peduli. Terus saja ia membalas surel-surel dari pembaca blognya. Kebanyakan berisi curahan hati, ungkapan permasalahan hidup, dan konsultasi bisnis.

Keasyikannya membalasi surat elektronik terpecah oleh dering ponsel. Bunyi notifikasi khusus di iPhonenya, notifikasi yang tak pernah ia matikan sesibuk apa pun.

"Calvin, maukah kau menolongku?"

Suara bening di seberang sana menghentak atensinya. Ya, Allah, ada apa dengan Evita?

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Evita?" tanya Calvin lembut.

"Bujuk Rossie sekolah. Sejak tadi dia terus menangis, merajuk, dan melempar barang-barang dari tas sekolahnya."

Tertangkap nada putus asa dalam suara wanitanya. Wanita yang ia cinta hampir separuh hidup. Wanita yang kenangan-kenangannya menghiasi setengah lembaran buku hidup Calvin Wan.

Lima menit kemudian, Calvin merasa tubuhnya digerakkan oleh magnet. Ia tak tahu mengapa kedua kakinya bisa melangkah secepat itu. Mengapa sedan putihnya ia kemudikan sekencang itu. Satu hal yang pasti: Evita dan Rossie membutuhkannya.

Jarak perusahaannya dengan rumah Evita tak begitu jauh. Calvin tiba cukup cepat. Ia turun dari mobil dengan tergesa, disambuti tatapan penasaran tukang kebun dan asisten rumah tangga.

"Akhirnya kau datang juga, Calvin. Masuklah. Langsung saja ke kamar Rossie." Evita menyambutnya hangat. Membuat rasa khawatir di dada Calvin perlahan lesap.

Selangkah demi selangkah dia naiki anak tangga pualam. Di pertengahan tangga, didengarnya suara tangis Rossie. Refleks Calvin mempercepat langkah. Dalam hati ia mendaraskan doa. Semoga Little Princessnya baik-baik saja. Semoga Rossie segera terbebas dari kesedihan.

**     

Calvin berlutut, menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu. Tangannya terulur. Lembut menghapus air mata Rossie.

"Mata Little Princess berhujan..." ucapnya lembut.

"Ayah Calvin harap, ini hujan yang terakhir. Setelahnya, hanya akan ada pelangi di mata Little Princess."

Rossie menggeleng kuat. Nanar ditatapnya buku-buku, kotak bekal, pensil, penghapus, dan buku gambar yang berserakan di karpet.

"Kenapa Rossie nggak mau sekolah?" Calvin mulai melancarkan jurusnya. Malaikat tampan bermata sipit itu tahu bagaimana cara membuka hati Rossiee.

"Rossie nggak tahan di-bully teman-teman. Teman-teman Rossie jahat."

"Memangnya kenapa mereka mem-bully Rossie?"

Bukannya menjawab, Rossie justru menangis lagi. Isakannya lebih hebat dari sebelumnya. Calvin merengkuhnya, mendekapnya hangat. Diciuminya puncak kepala Rossie berkali-kali.

"Little Princess, don't be sad..."

"Ayah Calvin, kenapa Rossie harus Islam? Kenapa anak-anak kayak Rossie harus di-bully? Kenapa anak Muslim selalu dituduh teroris?"

Ini kejam, sungguh kejam. Calvin menggigit bibirnya. Mengapa anak-anak yang polos harus termakan stereotip? Anak-anak sama sekali tidak bersalah.

"Bukan Rossie yang bunuh orang tuanya Devon! Bukan Rossie yang bikin adiknya Gracia kena ledakan bom!" seru Rossie emosional. Tangan kirinya menarik-narik ujung jas Calvin.

Kejamnya stereotip. Anak sekecil ini harus terkena imbas dari perang ideologi, perang orang-orang dewasa.

"Bukan, Sayang. Bukan Rossie yang melakukannya. Rossie kan anak baik."

Mata sipit putri kecil itu terus saja menghamburkan bulir bening. Sepasang mata sipit yang sangat mirip mata Daddynya, Calvin tahu itu. Sosok Adica seolah hidup lagi lewat mata Rossie.

"Dulu, waktu ada kasus penodaan agama, Rossie juga di-bully. Katanya, kulit Rossie putih. Mata Rossie sipit. Rossie kafir. Padahal Rossie shalat juga, di saf yang sama malah kayak mereka. Rossie juga suka Al-quran, bahkan hafalannya terus bertambah. Kenapa harus Rossie?"

Sungguh tak enak menjadi Rossie. Tiap kali kasus-kasus SARA menjadi fenomenal, selalu saja ia kena perundungan. Serba salah. Rossie seolah menjadi minoritas di dalam minoritas. Dan, bagaimana bisa anak sekecil dirinya dipaksa mengerti soal kasus-kasus bermotif ras dan agama?

"Sabar ya, my Little Princess. Ini ujian buat Rossie. Jangan takut, Sayang." ujar Calvin menenangkan.

"Rossie harus gimana?" Anak cantik itu setengah takut, setengah putus asa.

Calvin mendekapnya makin erat. "Tetap sabar dan jangan takut. Kalau Rossie takut, teman-teman justru merasa menang. Orang yang membela kebenaran tidak boleh takut, Sayang. Begitu juga orang baik. Rossie kan baik."

Anggukan kepala Rossie membuncahkan semangat Calvin. Malaikat tampan bermata sipit itu melanjutkan kelas motivasinya.

"Tunjukkan kalau apa yang mereka sangka tidak benar. Rossie pasti bisa. Jangan menyerah. Tunjukkan kalau anak Muslim bukan teroris. Buktikan kalau anak secantik Rossie tidak seperti tuduhan mereka."

Malaikat tampan bermata sipit memercikkan motivasi. Rasa takut di hati Rossie perlahan melumat. Hancur menjadi remah. Perlahan lenyap tersapu angin pencerahan.

Bibir Rossie melengkung membentuk senyuman. Semangatnya bangkit. Ia berjanji takkan kalah dari teman-teman pembullynya. Tekadnya bulat.

Awan di bola mata Rossie menghilang. Kini tergantikan pelangi.

**    

"Terima kasih ya, kamu bisa bujuk Rossie sekolah." kata Evita penuh terima kasih.

"Aku tidak tahu apa jadinya bila tanpamu."

Ucapan terima kasih Evita dibalas senyuman Calvin.

"Rossie sudah kuanggap anakku sendiri. Selamanya begitu. Aku janji akan membantumu mendidik Rossie." ucap Calvin tulus.

Evita melempar senyum manis. Janji Calvin menenteramkan hati. Ia tak perlu sendirian menghadapi semua ini.

Sekilas Calvin mencuri pandang ke arah Evita. Ibu kandung Rossie ini cantik sekali jika tersenyum. Debar di hatinya bukanlah debar biasa. Salahkah bila malaikat jatuh cinta?

**    

Cintaku bukanlah cinta biasa

Jika kamu yang memiliki

Dan kamu yang temaniku

Seumur hidupku, seumur hidupku (Afgan-Bukan Cinta Biasa).

**     

https://www.youtube.com/watch?v=yhB08_exAQs

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun