** Â Â Â
"Hei, ada Pak Dokter Ganteng di sini. Jadi relawan juga?"
Revan dan Calvin memukul pelan punggung sesosok pria tinggi berjas putih yang tengah sibuk menurunkan boks-boks makanan dari bagasi mobil. Pria itu berbalik, lalu ketiganya bertoast.
"Nggak praktik hari ini, Al?" tanya Revan, ikut membantu menurunkan boks.
"Nggak. Aku mau di sini aja. Masa mikirin dunia terus sih? Akhiratnya kapan dong?"
"Wow wow wow, sejak kapan Albert jadi filosofis gitu? Terpengaruh tausyiah Tarawih semalam ya?"
Dr. Albert Arif Ansori Hartman, sahabat kental Calvin dan Revan. Pria Kaukasia blasteran Jawa-Jerman-Skotlandia. Dengan tulus dan penuh percaya diri, ia pakai nama ayah angkat dan ayah kandungnya di belakang namanya. Albertlah dokter pribadi yang merawat Calvin.
"Calvin, kamu masih pakai cincin itu?" selidik Albert. Melirik jari manis sahabatnya yang masih dilingkari sebentuk cincin.
"Memangnya kenapa?" Calvin berkilah, mata sipit beningnya menghindari tatapan tajam Albert.
Ya Allah, bisakah Albert tak usah membahasnya di saat begini? Haruskah luka disiramkan alkohol dan dinaikkan dosis keperihannya? Demi menyelamatkan situasi, Revan buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Guys, jangan ngobrol di sini terus. Kapan beresnya? Tuh lihat, relawan yang lain mulai menata meja."