Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surat Cinta untuk Ronald Wan

20 Mei 2018   06:14 Diperbarui: 20 Mei 2018   08:13 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tapi, nyatanya mereka mempermainkan nilaiku. Bahkan aku terancam tidak lulus. Hanya karena subjektivitas dan diskriminasi dari mereka. Seperti peraturan di awal, kami para mahasiswa boleh melakukan pengaduan bila nilai tidak sesuai. Asalkan pengaduan itu dilakukan secara kolektif, bukan individu. Setiap KM (Ketua Mahasiswa) di tiap kelasnya yang harus mengajukan pengaduan.

Ok, kucoba mengikuti langkah prosedural itu. Berkomunikasi dengan Ketua Mahasiswa "Yang Terhormat" di kelasku, dan menjelaskan semuanya. Lalu, apa reaksinya? Ia tidak peduli, Ronald. Ia hanya mengatakan 'tidak tahu', dan menyuruhku membuat pengaduan sendiri.

Baiklah, kucoba bersabar dan mengerti. Kulakukan pengaduan itu secara individu, walaupun itu melanggar prosedur. Finally, mereka menyadari kesalahan mereka dan kini nilaiku diperbaiki. Bagus, sesuai yang kuharapkan. As usual, aku menyukai kesempurnaan dan berambisi mengejarnya.

Beberapa hari kemudian, terjadi keributan kecil di grup kelasku. Ini mengenai nilai anak-anak sekelas yang hancur. Banyak yang dinyatakan tidak lulus. Aku membaca nilai-nilai mereka. Kucocokkan dengan track record, reputasi, kelakuan, dan prestasi akademik mereka. Sebagian tidak lulus karena mereka memang malas. Sebagian lagi, ya seperti aku itu: korban subjektivitas dan diskriminasi. Mereka panik dan cemas, sangat takut tidak lulus.

Nah, si Ketua Mahasiswa "Yang Terhormat" itu membantu semua teman-temanku yang tidak lulus. Dia dan kekasihnya merekap ulang nilai-nilai mereka, menaikkannya, dan mengurusnya ke segelintir mahasiswa "penguasa kampus" itu. Mereka bersedia repot-repot melakukannya, Ronald. Untuk teman-temanku yang tidak lulus. Sampai-sampai mereka memuji-muji si Ketua Mahasiswa itu. Malah ada yang mengatakannya Ahli Surga. Pujian yang berlebihankah itu?

Pertanyaannya, mengapa dia tidak membantuku beberapa hari yang lalu? Mengapa dia membiarkanku meluruskan itu sendiri? Mengapa aku seakan tidak pantas untuk dibantu juga, seperti teman-teman sekelasku yang didiskriminasi?

Ronald,

Mengapa mereka tidak peduli? Apakah karena mereka iri? Iri melihat aku bisa menjadi pemakalah di seminar nasional, dibanggakan dosen karena ikut Mahasiswa Berprestasi tahun lalu, senang mempelajari hal-hal baru, menyelesaikan semua tugas dengan sempurna, dan semacamnya? Tapi, kenapa harus begitu? Soal absensi di kelas pun begitu. Tidak semua daftar presensi dan berita acara perkuliahan dipegang dosen. Ada pula yang dipegang sendiri oleh mahasiswa.

So, tingkat manipulasi dan kecurangannya tinggi. Absensiku sering dimanipulasi, Ronald. Aku dinyatakan izin, padahal aku hadir mengikuti perkuliahan...hmmmm. Dan soal tugas kelompok untuk tugas akhir tak jauh berbeda. Aku sering kesulitan mendapatkan kelompok.

Kelasku terlalu individualis, subjektif, dan berkubu-kubu. Tak semua dosen peduli soal kondisi sosial di suatu kelas. Tak semuanya memperhatikan.

Ronald,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun