Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyembunyikan Ending Cerita, Salahkah?

23 April 2018   05:50 Diperbarui: 23 April 2018   05:53 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebelumnya, Young Lady cantik masih shock dan nggak nyangka. Ternyata terpilih sebagai Kompasianer perempuan paling menginspirasi. Hmm...apa yang telah Young Lady cantik lakukan sampai pantas terpilih? Padahal hanya menulis tulisan-tulisan dan fiksi cantik yang aneh dan mungkin tidak dipahami semua orang. So far, sudah ada lima Kompasianer pria yang mengucapkan selamat pada Young Lady cantik.

"Deleted."

Apa yang terbayang di pikiran para Kompasianers bila membaca kata itu saat membuka tulisan favorit kalian di sebuah web? Kesal, gemas, marah, atau kecewa dengan penulisnya? Pasti macam-macam saja perasaannya. Young Lady cantik pernah mengalaminya. Saat akan membuka link cerita favorit di sebuah blog, ternyata tulisan itu sudah dihapus. Alasannya, karena akan diterbitkan. Celakanya, Young Lady sendiri pernah melakukan hal yang sama beberapa kali. Parah ya. Silakan kalian menertawakan kebodohan Young Lady.

Dapat dikatakan, hampir semua penerbit menginginkan tulisan-tulisan yang akan diterbitkan namun telah terpublikasi di platform online, untuk dihapus. Semata demi tujuan komersial. Menghapus tulisan yang akan diterbitkan memunculkan sisi positif dan negatif. Layaknya pisau bermata dua, inilah plus-minusnya.

Positifnya, mengundang rasa penasaran. Pembaca ingin tahu bagaimana akhir dari tulisan/cerita yang mereka ikuti. Ini juga tak lepas dari segi komersial. Kemungkinan besar, bila si penulis telah memiliki pembaca setia, penjualan tulisan/cerita yang telah dibukukan akan merangkak naik. Segi negatifnya adalah, mengecewakan para pembaca. Pembaca yang begitu setia mengikuti rangkaian cerita selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, setia membacanya setiap hari, tetiba saja harus kehilangan tulisan favoritnya. Bila ingin membacanya lagi secara utuh, harus membeli bukunya. Masalahnya, tidak semua orang mampu dan mau membeli buku. Apa lagi kalau harga bukunya mahal. Orang akan berpikir dua kali untuk membelinya. Di negeri kita, tak semua orang memasukkan buku di dalam daftar belanja bulanan mereka.

Dilema bagi para penulis. Memilih menghapus tulisan/ceritanya, atau membiarkannya teronggok manis begitu saja di blog/media online tempatnya posting. Menghapus tulisan berarti mengecewakan banyak pembaca, tetapi menyenangkan hati penerbit. Tidak menghapusnya sama saja menjaga perasaan pembaca setia, namun melanggar larangan penerbit. Dilematis, kan?

Tak dapat diingkari. Tanpa pembaca, penulis bukan apa-apa. Penulis jelas butuh pembaca. Tapi, penulis pun bukanlah boneka pemuas keinginan para pembaca. Penulis juga punya aturan sendiri, kebijakan yang harus mereka patuhi, dan prosedur yang kerap kali membuat mereka tak bisa menyenangkan hati pembaca.

Selain pembaca, penulis butuh penerbit. Agen yang menghubungkan antara penulis dan pembaca. Agen yang menjual dan mempromosikan karya penulis. Pembaca dan penerbit, dua kutub dengan tarik-menarik kepentingan yang berbeda. Satu kutub memproduksi bacaan/literatur yang memiliki nilai jual, satu kutub lainnya pembaca yang membeli/mengonsumsi produk yang dihasilkan tersebut.

Sering kali penulis merasa tak tega ketika harus menghapus tulisannya. Hilang sudah jumlah hits, view, komentar, dan vote yang didapatnya. Rasanya seperti melukai pembaca yang telah setia menunggu dan menikmati kelanjutan cerita dari hari ke hari. Merasa menzhalimi pembaca, bisa jadi. Setidaknya, itulah yang dirasakan Young Lady cantik tahun lalu.

Meski demikian, ada rasa senang juga. Senang karena telah menggelitik rasa penasaran pembaca. Menumbuhkan tanda tanya di hati mereka, bagaimanakah ending ceritanya? Seperti lagunya Isyana Sarasvati, mungkin mereka masih berharap mengetahui akhir ceritanya. Sampai-sampai Young Lady cantik pernah di-inbox salah seorang pembaca yang protes karena cerita tahun lalu dihapus. Dia masih ingin membacanya lagi, begitu katanya.

Sementara di Kompasiana ini, Young Lady cantik punya strategi lain yang jauh lebih nakal: membingungkan dan memusingkan pembaca dengan style cantik buatan Young Lady cantik. Apa stylenya? Menghadirkan tokoh utama dan tokoh-tokoh pendukung yang hampir sama dalam setiap judul cerita. Satu serial dengan serial lainnya menghadirkan tokoh utama pria yang sama. Coba tebak siapa tokohnyaaaa? Kalau ada yang bisa tebak, 100 buat kalian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun