Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf, Aku Tak Sempurna

19 Desember 2017   05:50 Diperbarui: 19 Desember 2017   06:20 2867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

"Sebaiknya kita realistis saja."

Dokter setengah baya berkacamata minus persegi itu menyandarkan tubuhnya. Membalik-balik medical record di mejanya. Pria berparas oriental di depannya sedikit menundukkan wajah, mulai meraba kemungkinan terburuk.

"Bagaimana kalau tidak berhasil?" tanya pria berwajah oriental itu pelan.

"Jangan tanya pada saya. Tanyakan pada Allah."

Pria berjas hitam itu tertunduk lagi. Menyesali diri? Sudah terlambat. Kondisi tubuhnya memang begini. Apa yang harus disesali? Menyalahkan takdir? Gegabah sekali.

"Ingat, pengobatan yang kamu lakukan bukannya tanpa risiko. Sekarang ginjalmu mulai bermasalah. Hati-hati, Calvin. Jangan sampai kamu harus Hemodialisa juga." Sang dokter memperingatkan, wajahnya berangsur khawatir.

"Insya Allah tidak. Saya masih ingin hidup lebih lama. Bersama istri saya." ujar Calvin meyakinkan.

"Bagus. Satu hal lagi: jangan stress. Rilekskan pikiranmu. Tetap sabar, tawakal, dan ikhtiar."

Calvin mengangguk. Beranjak berdiri, bersiap meninggalkan ruangan dokter spesialis Andrologi itu. Sudah selesai. Namun harapan belum pupus.

Selangkah demi selangkah, Calvin meninggalkan rumah sakit. Berpapasan dengan paramedis. Mendengar bermacam suara dari pintu-pintu sal yang tertutup rapat. Tangisan, erang kesakitan, jeritan tertahan, suara muntahan, dan ratap kesedihan. Rumah sakit, bangunan serba putih yang rutin dikunjunginya selama enam bulan terakhir. Demi satu tujuan: memiliki keturunan. Menyembuhkan apa yang harus disembuhkan.

Ironisnya, hingga kini semuanya belum berhasil. Mulai dari konseling sampai terapi hormon, mulai dari pemberian beberapa obat-obatan hingga serangkaian doa dan amalan yang dilakukan, belum nampak keberhasilan. Titik kesembuhan belum terlihat.

Istrinya pasti akan kecewa. Meski sejumput kekecewaan itu takkan diperlihatkannya. Namun Calvin paham, seberapa besar kekecewaan istrinya. Sudah lama istri cantiknya itu menginginkan seorang anak. Sembilan tahun lamanya mereka hanya tinggal berdua di rumah yang begitu besar. Sunyi, sepi, hampa.

Teringat rumah besar di atas bukit itu, Calvin mempercepat langkah. Istrinya mungkin sudah pulang. Seperti kebiasaannya, ia akan melangkah memutari teras, cemas menunggu suaminya pulang dari rumah sakit. Calvin selalu melarang istri cantiknya menemaninya terapi. Semata demi menjaga perasaan wanita blasteran Indo-Jerman yang telah lama dinikahinya itu.

Baru saja ia buka pintu mobilnya, penanda notifikasi di ponselnya berbunyi. Tak salah lagi, Whatsapp dari pemilik contact bernama Calisa Karima.

"Sayang, gimana terapinya? Lancar kan? Dengarkan apa kata dokter ya. Love you."

Ini sebuah support. Ungkapan penyemangat dari hati yang tulus. Calvin terpaku, menatap nanar foto profil Calisa. Calisa yang cantik, anggun, dan baik hati. Tak sepantasnya Calisa bersama dirinya, pria lemah tak berguna yang divonis infertil. Pria tampan yang sukses secara materi, namun tak mampu memberikan kebahagiaan batin dengan hadirnya buah hati.

**     

Calisa berdiri gelisah di puncak tangga yang menghubungkan teras dengan halaman depan rumahnya. Sebelah matanya melirik arloji tanpa henti. Sudah pukul enam lewat lima belas, tapi suami super tampannya tak datang juga. Gradasi merah keemasan di langit telah berganti menjadi biru gelap menuju hitam. Senja berganti malam tanpa terasa.

Sudah malam. Bagaimana hasil terapinya? Benak Calisa dipenuhi tanda tanya. Sudah ada progreskah?

Sebelum menikah, Calvin telah menjelaskan kondisinya pada Calisa. Divonis saat masih single, tragis sekali untuk pria Tionghoa itu. Calisa tak keberatan. Ia menerima dan mencintai Calvin apa adanya. Tetapi dimintanya Calvin untuk berobat. Calvin memenuhi permintaan Calisa.

Akhirnya mereka menikah. Lantaran kesibukan luar biasa setelah prosesi pernikahan dan honeymoon yang cukup panjang, Calvin terlupa. Ia mengingkari janjinya. Barulah enam bulan ke belakang dia mulai kembali pengobatannya. Bahkan Calvin begitu serius melawan penyakitnya sampai-sampai mengurangi kesibukannya di kantor. Sebagian besar urusan bisnis diserahkan pada bawahan-bawahannya. Demi membahagiakan Calisa.

Jeep Wrangler Rubicon itu melaju memasuki gerbang rumah yang dibiarkan terbuka. Kelegaan menghiasi wajah Calisa. Ia bergegas turun ke halaman, menyambut hangat suami super tampannya. Memberinya pelukan dan kecupan mesra saat pria nomor satu yang paling dicintainya itu turun dari mobil.

"Apa kata dokter?" bisik Calisa, melingkarkan lengannya di leher Calvin.

"Katanya, aku harus hati-hati. Dampak pengobatan ini mulai terasa." sahut Calvin apa adanya.

"I see. Ah, harusnya aku menemanimu. Kenapa kamu selalu melarangku menemanimu ke rumah sakit?" Calisa sedikit memprotes, lembut membimbing tangan suaminya masuk ke dalam rumah.

"Aku tidak ingin membuatmu sedih, Calisa."

"Aku berusaha untuk tidak sedih, Calvin. Ah sudahlah. Kita shalat Maghrib dulu bagaimana? Aku menunggumu agar bisa shalat bersamamu."

Beribadah bersama, satu rutinitas yang selalu dilakukan Calvin dan Calisa hampir setiap hari. Kecuali bila kondisi memaksa mereka untuk beribadah secara terpisah. Padatnya jadwal pekerjaan tak menghalangi mereka untuk konsisten menjalankan perintah agama.

Calvin dan Calisa shalat berjamaah. Bersama saling menguatkan dalam doa dan komunikasi transendental dengan Sang Khalik. Menguatkan pilar cinta mereka dengan keteguhan iman. Iman dapat menguatkan cinta. Cinta mampu menerima kelebihan dan kekurangan. Begitulah cinta yang sesungguh-sungguhnya.

"Well, aku harus kembali ke kantor." kata Calisa usai shalat.

"Ke kantor? Akhir-akhir ini kamu sering lembur ya? Ada project barukah?" tanya Calvin ingin tahu.

"Iya. Makanya kantorku sedang sibuk-sibuknya. Project besar dengan klien hebat. Is it ok?"

Tak ada yang bisa dilakukan Calvin selain memberikan izin. Mengalah, walau ada sebersit kecewa di dasar hati. Ia pikir, Calisa akan menemaninya. Dirinya saja sudah mengurangi kesibukan di kantor, tapi Calisa masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Sebuah kekecewaan yang wajar.

"Oh Dear...sorry. Aku sama sekali tidak ingin meninggalkanmu, tapi sudah tugasku. Sorry ya? Aku janji, begitu semuanya selesai, aku akan segera kembali. Lalu, seluruh waktuku akan kuberikan untukmu." janji Calisa seraya memeluk Calvin erat. Menebarkan wangi Escada The Moon Sparkelnya.

"Iya, Calisa. Take care." Calvin membalas pelukan Calisa. Mencium keningnya penuh cinta.

**      

Menanti, pekerjaan yang melelahkan dan membutuhkan kesabaran. Malam ini Calvin tengah melakukannya. Menanti Calisa kembali.

Bukan Calvin Wan namanya jika tidak sabar menunggu. Menunggu dengan sabar, sudah biasa dilakukannya. Tidak semua orang bisa sesabar itu. Kalau sepanjang malam ini ia harus tak tidur demi menunggu Calisa, akan ia lakukan.

Baru beberapa jam berpisah, hati Calvin telah merindu. Ia rindu Calisa. Calisa yang jelita, charming, tulus, dan penuh kasih. Hatinya begitu sempurna untuk dicinta. Wanita sesempurna itu, mengapa mau dinikahi olehnya?

Calvin sadar dirinya tak sempurna. Meneruskan keturunan keluarga saja tak bisa. Ditolak berkali-kali oleh keluarga Calisa, disalahkan, dihina, direndahkan, dan dimaki. Bukan hal baru lagi. Ternyata, pria pun bisa salah gegara sulit mendapatkan keturunan. Banyak anggota keluarga Calisa yang tidak menyukainya. Benci luar biasa padanya. Pria seperti dirinya memang layak dibenci dan menjadi korban. Calvin sudah siap dengan risikonya.

Beruntungnya ia memiliki Calisa. Mau menerima dirinya apa adanya. Mencintainya sepenuh hati. Wanita secantik dan sebaik itu, tulus mencintainya? Sungguh, Calvin harus bersyukur.

Celakanya, pria-pria yang pernah mengejar cinta Calisa berusaha melakukan segala cara untuk memisahkan dua hati yang saling mencinta. Mulai dari membuat skandal perselingkuhan, terang-terangan memikat Calisa agar mau kembali bersama mereka, memfitnah Calvin jika dirinya punya wanita idaman lain, dan mempengaruhi keluarga Calisa. Sejauh ini, upaya mereka belum ada satu pun yang berhasil. Calvin dan Calisa mampu bertahan melewati berbagai ujian cinta.

Tak hanya itu. Beberapa di antara pria-pria yang mengejar cinta Calisa pun membully Calvin di sosial media. Pernah ada yang memposting foto Calvin di Instagram mereka, lalu menuliskan caption tentang pria kaya-raya dan sukses yang kebingungan mewariskan hartanya karena ia tak punya anak. Ada pula yang membuat meme tentang pria tampan dan kaya yang harus dikasihani karena ia kesepian sepanjang hidupnya. Banyaknya meme dan status yang menghinanya, Calvin tetap sabar. Ia tak melaporkan mereka ke pihak berwenang. Bukan karena takut, melainkan karena hatinya telah memaafkan pria-pria itu. Memaklumi tingkah mereka. Sadar diri, bahwa dirinya sebenarnya tak layak untuk Calisa. Mungkin benar kata pria pembuat meme itu: Calvin layak dikasihani karena kekurangannya. Layak dikasihani karena ketidakmampuannya meneruskan keturunan keluarga.

Dari hinaan dan rasa kasihan menjadi inspirasi. Meme yang menghina dirinya itulah yang membuat Calvin terinspirasi untuk menulis sebuah puisi. Lalu mempostingnya di media jurnalisme warga kesayangannya.

Kasihani Aku

Buta hati dan perasaan

 Kasihani Aku

Sampai...........................................

Saat tiba pada kata 'sampai' itulah perhatiannya teralih. Telepon berdering. Mengacaukan konsentrasi menulisnya.

Kabar dari si penelepon jauh lebih mendesak. Sungguh, tulisan di media jurnalisme warga itu tidak ada apa-apanya dibanding kabar yang baru tiba. Sebuah kabar mengejutkan tentang istrinya.

**     

Bila keyakinanku datang

Kasih bukan sekadar cinta

Pengorbanan cinta yang agung kupertaruhkan

Maafkan bila ku tak sempurna

Cinta ini tak mungkin kucegah

Ayat-ayat cinta bercerita

Cintaku padamu

Bila bahagia mulai menyentuh

Seakan ku bisa hidup lebih lama

Namun harus kutinggalkan cinta

Ketika ku bersujud (Rossa-Ayat-Ayat Cinta).

**      

Kamar rumah sakit itu dilingkupi atmosfer kesedihan. Sedih yang berbalut kesakitan. Wanita cantik berambut panjang dan berkulit putih yang terbaring di ranjang menahan pedih. Bukan dari luka-lukanya, melainkan dari hatinya.

Hati wanita itu pedih. Tapi hati pria tampan di sampingnya jauh lebih pedih lagi. Tersiksa dan tersakiti dengan perbuatan yang telah dilakukan wanita itu.

"Kenapa kamu lakukan itu semua, Calisa? Datang ke club, menyetir dalam keadaan mabuk, lalu..."

"Maafkan aku, Calvin. Maaf...aku datang ke sana untuk mengobati stress dan kesedihanku. Aku tertekan, aku tak tahan dibicarakan terus-menerus oleh banyak orang karena...karena kekuranganmu."

Calvin terhenyak. Jadi, Calisa stress dan tertekan karena dirinya? Calisa nekat berbuat hal-hal yang tidak pantas hanya karena tertekan?

"Aku tak tahan dengan semua ini, Calvin. Maaf, aku tak sesempurna yang kamu kira. Istrimu ini juga manusia biasa, Sayang."

"Kamu tak tahan denganku? Kamu tak sabar menungguku untuk sembuh?"

Pertanyaan Calvin disambuti anggukan lemah istrinya. Bayangan kesedihan itu kembali menepi, lebih kelam. Lebih sakit dari sebelumnya.

"Lalu anak itu...siapa pelakunya?" Calvin mendekat, membelai lembut perut Calisa. Sebesar apa pun kecewa dan sedihnya, Calvin tetaplah memiliki sisa-sisa kelembutan di hatinya.

"Mas Cinta yang melakukannya. Dia masih mencintaiku, di sisi lain dia juga membencimu dan ingin melihatmu hancur. Pikirnya, anak ini akan membuatmu merasa bersalah dan tidak berguna."

Tidak, ini tidak mungkin. Calvin menggenggam tangan Calisa erat. Bayangan wajah teman baiknya berkelebatan. Mas Cinta itu hanyalah pseudonym dari seorang blogger dan pengusaha. Selain relasi bisnis, ia pun teman baaik Calvin. Selalu mensupport dan membesarkan hatinya. Pernah beredar rumor jika Mas Cinta diam-diam mencintai Calisa. Tapi itu sudah lama sekali. Ternyata itu benar. Bahkan pria tak tahu diri itu telah bertindak lebih jauh.

"Maaf, Calvin...sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak sempurna, aku bukan istri yang sempurna untukmu." Calisa terisak, air mata menepi di pelupuknya.

Dengan hati hancur, Calvin memeluk Calisa. Merengkuhnya, membelai-belai rambutnya. Mencium kening dan pipinya. Calvin tak menyangka hal ini bisa terjadi. Istrinya datang ke night club, minum alkohol, lalu teman baiknya sendiri mengkhianatinya. Dalam situasi seperti ini, Calvin Wan orang yang teraniaya dan terzhalimi.

"Oh Calvin, kamu tidak membenciku? Kumohon...jangan lepaskan pelukanmu." tangis Calisa seraya membalas pelukan suami super tampannya. Tak hanya tampan parasnya, tampan pula hatinya.

"Aku selalu mencintaimu, Calisa. Apa pun yang terjadi. Dan soal anak ini..." Calvin kembali membelai lembut perut Calisa.

"Dia akan jadi anakku. Kau dan aku akan membesarkannya, mencintainya, dan merawatnya bersama-sama."

Betapa lembutnya hati Calvin. Calisa menatap Calvin lekat, mencoba mencari makna lain dalam gurat wajah dan tatapan matanya. Tulus, tidak ada makna lain. Tidak ada kemarahan yang tertahan. Memang terlihat sekilas pancaran kesedihan, tapi tak seberapa. Selebihnya hanya ketulusan yang ditangkap Calisa.

"Calvin Wan, je t'aime."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun