Calisa menyodorkan iPadnya. Wahyu mengalah, menengadah sejenak dari tumpukan dokumen-dokumen di meja kerjanya. Ia meraih iPad dari tangan adik tirinya, lalu mulai membaca.
"Lebih baik menerima ataukah pasrah? Hmm...ini kan artikelnya Calvin Wan. So what?"
"Iya. Artikelnya Calvin. Bagus kan? Inspiratif menurutku."
Hening sejenak. Sejurus kemudian Wahyu mengembalikan iPad ke tangan Calisa.
"Calisa," ujarnya serius.
"Kalau kamu mau menebus rasa bersalahmu, sebaiknya lupakan Calvin. Jangan baca artikel-artikelnya lagi."
Calisa terdiam. Sibuk menutup aplikasi web media citizen journalism itu. Lalu menatap kakaknya penuh tanya.
"Salahkah aku membaca artikel-artikel Calvin?"
"Tidak Young Lady, sama sekali tidak. Tapi, coba pikir saja dengan logika. Bagaimana kamu mau menebus rasa bersalah sementara kamu membiarkan pikiran dan hatimu setiap hari dijejali pemikiran Calvin dalam tulisan-tulisannya? Move on, Young Lady. Move on."
Kata-kata Wahyu berpijar di benak Calisa. Move on? Tidak semudah itu.
"Move on? Sulit, Mas Cinta. Makin ke sini, aku justru makin mengaguminya. Calvin penderita Disleksia, tapi dia bisa menulis dengan sangat baik. Tidak ada typo, semua kata ditulis dengan benar. Tulisannya sangat rapi."