"Biar mereka tahu sendiri saja."
Adica menghela napas kesal. Ia menarik paksa tangan Calvin. Usut punya usut, ternyata Adica punya dendam pribadi dengan Zulfikar and Friends. Meski tidak satu sekolah dengan Calvin, Adica tahu persis apa yang menimpa kakaknya. Waktu itu ia nekat. Demi sang kakak, Adica menyerang Zulfikar and Friends dengan kekuatannya sendiri. Pernah pula ia membawa teman-teman setianya. Sayang sekali, mereka terpedaya. Mereka gagal melumpuhkan Zulfikar and Friends. Adica benci sekali dengan keempat anggota grup terjahat di sekolah itu. Kini, saatnya ia melampiaskan dendam.
"Ehm...waktunya generasi milenial tebar pesona di cafe." Adica berkata keras, sukses mengejutkan keempat pria metropolis itu.
Melihat siapa yang mendekat, mereka berempat terperangah. Sadar musuh-musuh lamanya telah datang. Zulfikar, si ketua grup, menatap Calvin, Adica, dan Syifa bergantian. Tatapannya tajam mengintimidasi. Tanza tersenyum angkuh. Sigit memasang ekspresi wajah sinis. Hanya Posma yang stay cool.
Sementara Calvin? Bayangan masa lalu kembali berkelebatan. Trauma yang telah lama terkubur dalam-dalam kini bangkit lagi. Ingatannya melayang pada peristiwa sadis saat Zulfikar menamparnya. Posma menertawakannya karena tak bisa membaca dengan lancar. Tanza menghinanya saat ia berbicara dengan kata-kata tertukar dan terbalik. Sigit memukulinya dan memaksanya berlutut untuk meminta maaf karena tak sengaja menumpahkan makanan di lunchboxnya. Kekejaman berulang di masa lalu membuat Calvin trauma. Calvin Wan terluka, sungguh terluka.
"Wow...kayaknya kita mau pesta besar malam ini. Zul, ada teman lama kita tuh." Sigit menunjuk Calvin dengan jari tengahnya, puas bercampur kaget di saat bersamaan.
Zulfikar tersenyum sadis. Ia menggerak-gerakkan pisau di tangannya. Semula ia gunakan pisau itu untuk memotong sirloin steak.
"Long time no see, Calvin. Mau kuberi hadiah selamat datang?"
Ucapan Zulfikar sungguh berbahaya. Akankah pengalaman traumatik di masa lalu terulang kembali? Usia dewasa tak memupus sifat jahat dan kebencian dari hati mereka berempat. Tetap saja mereka membenci Calvin dan berniat melukainya.
Ini tak boleh terjadi. Waktu untuk pasrah dan kalah sudah lewat. Calvin melawan rasa sakit dan traumanya. Ia menghela napas, dan berujar perlahan.
"Aku bukan lagi Calvin Wan yang dulu. Waktu untuk pasrah sudah lewat."