"Ngapain kamu ke sini, Calvin? Istirahat sana di rumah, nggak usah banyak aktivitas dulu!" sergah Adica.
Sesaat Calvin mengedarkan pandang ke sekitarnya. Normal, semuanya baik-baik saja. Syifa buru-buru mendekat. Merangkulnya hangat.
"Kak Calvin harusnya istirahat di rumah," kata gadis itu lembut.
"Terlalu lama di rumah malah membuatku tambah sakit, Syifa." Calvin tak kalah lembut saat menjelaskan alasannya. Begitulah Calvin Wan. Kakak yang lembut dan penyabar, pebisnis handal, blogger konsisten, anak yang berbakti, dan ayah idaman. Apa yang kurang darinya?
"I see. Tapi...gimana mau sembuh kalau nggak banyak istirahat?" bujuk Syifa.
Adica melempar pandang tajam ke arah mereka. "Sudahlah, Syifa. Kakak kita memang keras kepala."
Bukannya tersinggung, Calvin tertawa kecil. Sudah biasa disebut keras kepala. Meski keras kepala, ada sisi lembut di hatinya. Semua orang yang mengenalnya tahu itu.
Ketiga kakak-beradik itu mulai memperhatikan cara kerja para pelayan cafe. Mengamati interaksi pengunjung cafe dengan waiters, mengecek keramahan serta kesopanan mereka. Puas atas hasil kerja mereka. Pelayanan yang memuaskan dan kesan positif sukses membuat para pengunjung cafe jatuh hati. Mereka tak segan mengunggah status di sosial media, secara tak langsung mempromosikan cafe ini pada followers mereka. Strategi merebut hati para pengunjung cafe telah lama berhasil dijalankan.
"Mereka ramah dan profesional ya. Tak salah aku mempekerjakan mereka," ungkap Calvin puas.
"Syukurlah kalau kamu puas." timpal Adica.
Baru saja mereka akan beranjak ke ruang kerja di lantai atas, kehadiran sekelompok pria mengalihkan perhatian. Sekumpulan pria dengan setelan formal dan wajah datar tanpa ekspresi. Bukan pakaiannya yang menyita perhatian, tapi sosok mereka yang terasa familiar.