Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jadi Orang Tua Demokratis? Libatkan Anak dalam Diskusi

6 September 2017   05:59 Diperbarui: 6 September 2017   23:35 1428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya, hari ini saya ingin libur menulis. Keinginan itu saya musnahkan. Akhirnya, toh saya menulis juga. Sebab saya sudah punya janji dengan diri sendiri. Terlebih saya menulis bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk orang lain.

Dua kejadian yang saya alami sempat membuat saya enggan menulis. Pertama, masih tak percaya karena saya ditunjuk menjadi ketua tim penelitian untuk semester ini. Dosen dan teman-teman yang menunjuk saya. Alasannya, karena saya ikut Mapres (Mahasiswa Berprestasi) semester lalu. Tapi saya tak ingin membahasnya di sini. Ada satu kejadian lagi yang jauh lebih menyita pikiran saya. Kejadian kedua adalah keputusan sepihak yang diambil tanpa persetujuan saya. Keputusan ini diambil oleh Mama-Papa saya.

Kata mereka, weekend ini ada agenda ke luar kota. Dalam rangka mengunjungi penasihat spiritual kepercayaan keluarga kami dan bersilaturahmi ke rumah kakak dari Papa. Semua ini atas usulan Papa. Mungkin lantaran ingin menjadi istri yang baik, Mama setuju saja.

Kunjungan ke luar kota oke-oke saja buat saya. Hari apa pun, tanggal berapa pun, tak masalah. Jadwal bisa diatur. Masalah kehadiran di kelas juga masih ditoleransi. Saya bersyukur selalu diberi kemudahan soal perizinan selama ini. Sebab kehadiran saya di perkuliahan tidak pernah 100%. Ada saja urusan keluarga atau kegiatan non akademis lain yang mengharuskan saya absen.

Masalahnya, ternyata agenda kunjungan kali ini bertepatan dengan hari ulang tahun saya. Alhasil, semua yang telah saya rencanakan hancur berantakan. Kecewa? Tentu saja. Marah? Mungkin saja. Jika marah, saya lebih memilih diam. Ada cara menghadapi rasa marah dengan anggun. Saya tahu itu dan pernah melakukannya.

Saya sudah punya rencana sendiri untuk melewatkan hari ulang tahun weekend nanti. Aura perfeksionis rupanya masih menguasai hati saya. Menghendaki segala rencana berjalan sempurna, itulah saya. Celakanya, seisi rumah tahu dan tidak bisa melawan kerasnya pendirian saya soal kesempurnaan. Semua orang yang kenal dekat tahu persis bagaimana perfeksionisnya Young Lady Latifah Maurinta Wigati. Saya tak suka bila rencana saya terhalang. Benar-benar tak suka. Saya pun tak tahu kenapa hati dan prinsip saya bisa sekeras itu kalau sudah terkait target serta rencana hidup.

Menyadari saya mulai tak senang, Mama menawari banyak hal. Mulai dari merayakan ulang tahun di restoran favorit di kota yang akan kami kunjungi, membelikan birthday cake dengan ukuran dan jenis tertentu yang paling saya sukai, dan tawaran-tawaran menyenangkan lainnya. Namun saya tolak dengan dingin. Bukan itu yang saya inginkan. Saya hanya ingin ketenangan, kedamaian, dan waktu eksklusif bersama orang-orang terdekat di hari ulang tahun. Saya hanya ingin mendengarkan suara-suara lembut menyapa dan berbicara dengan saya, membaca kata-kata simpatik, tulus, dan penuh kasih, serta menghabiskan hari ulang tahun untuk refleksi atas semua yang saya lakukan setahun terakhir. Itu saja.

Waktu Isya telah tiba. Saya bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan shalat. Satu jam lamanya saya beribadah dan berdoa. Saya curahkan isi hati dan perasaan pada Allah SWT. Semuanya saya ungkapkan. Bukan hanya rasa kesal yang mengendap di dalam hati lantaran hancurnya rencana yang telah coba saya susun, saya pun kecewa karena orang tua saya sama sekali tidak melibatkan saya dalam pengambilan keputusan. Sebagai anak, saya bisa apa?

Saya tahu, ini semua bukan sepenuhnya kesalahan Mama. Kalau boleh jujur, semua ini dimulai oleh Papa. Papa yang mengusulkan, lalu menuntun Mama untuk menyetujui usulannya. Sejak dulu, Papa memang begitu. Egois, dingin, dan tidak suka mendengarkan orang lain. Bukannya saya mendiskreditkan Papa, tapi itulah kenyataannya. Bahkan Mama saya sering menyebut Papa egois. Jika Mama lebih memprioritaskan anak, Papa lebih memprioritaskan dirinya sendiri. 

Saya juga punya banyak pengalaman tidak menyenangkan bersama Papa dari kecil sampai sekarang. So, jangan salahkan bila saya lebih menyayangi Mama dibandingkan Papa. Dalam pandangan saya, Papa hanyalah pelengkap. Sosok yang hanya memperlihatkan eksistensi dan kenyataan di depan orang bahwa saya masih punya orang tua lengkap. Itu saja. Saya tidak bangga mempunyai Papa seperti itu. Seorang Papa yang pernah melukai saya secara fisik dan psikis.

Bukannya saya mau mengingat-ingat kebaikan sendiri. Tahun ini, sudah beberapa kali saya berkorban dan mengalah untuk keluarga. Hari dimana saya menemani dan menjaga kakak dari Mama operasi semalaman di rumah sakit, seharusnya hari itu saya mengisi acara. Saat peringatan 100 hari meninggalnya salah seorang anggota keluarga, saya membatalkan job dan tawaran mengisi acara yang cukup menjanjikan. Sudah cukup banyak tawaran yang saya tolak atau batalkan demi urusan keluarga. Selama ini, saya pun berusaha menjadi anak yang baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun