"Kamu sangat berani, Calvin. Mengubah jalan hidup dan berhenti dari pekerjaan yang telah membuatmu mendapat karier cemerlang tidaklah mudah. Banyak orang berpikir ratusan kali untuk resign." puji Nyonya Calisa tulus.
"Calisa, jangan samakan aku dengan orang lain. Mereka tidak mau resign karena memikirkan dirinya sendiri. Sedangkan aku? Aku punya anak yang jauh lebih membutuhkan waktu, perhatian, dan kasih sayang. Aku memikirkan masa depan Clara dan kesehatan psikologisnya. So, aku ingin selalu berada di dekatnya. Dengan pekerjaanku sekarang, aku bisa memberikan waktu lebih banyak untuk Clara. Untuk kamu juga." Tuan Calvin menjelaskan dengan lembut dan sabar.
"Iya, Calvin. Aku suka keberanian dan keputusanmu. Kamu tak pernah memikirkan dirimu sendiri. Dengan begini, kita punya banyak waktu untuk bersama."
Keduanya kembali berpelukan. Lebih erat dari sebelumnya. Nyonya Calisa merasa tenang dalam pelukan Tuan Calvin. Hatinya dialiri kehangatan. Beban kesedihannya berkurang perlahan.
"Semalam aku buka profil Linkedin milikmu, Calvin." kata Nyonya Calisa, tetiba teringat sesuatu.
"Lalu?"
"Aku melihat rekomendasi keahlian dari mantan atasanmu. Dia merekomendasikan keahlian leadership. Katanya, kamu punya sifat kepemimpinan yang baik. Dia akan senang jika bisa bekerjasama denganmu lagi. Aku tahu apa artinya itu. Artinya, kamu pergi dari perusahaan itu dengan reputasi yang baik. Kamu punya cerita yang indah dan berkesan tentang perjalanan kariermu di sana. Salut padamu, Calvin. Kamu pergi setelah memberikan kesan berarti pada perusahaan tempatmu bekerja."
"Aku tidak sehebat itu, Calisa. Aku hanya berusaha bekerja dengan baik. Rekomendasi dari mantan atasanku hanyalah bonus. Bekerja bukan untuk mencari pujian atau mendapatkan karier bagus. Melainkan bekerja untuk kebaikan. Tapi terima kasih pujiannya, Sayang." Sejurus kemudian Tuan Calvin mengecup pipi Nyonya Calisa. Sukses membuat pipi wanita jelita itu merona.
Tanpa sadar Nyonya Calisa menyentuh pipinya sendiri. Di tempat dimana tadi Tuan Calvin menciumnya. Ganjil, terdapat noda merah di telapak tangan Nyonya Calisa. Sedetik. Lima detik. Tujuh detik. Sepuluh detik...
"Ya Allah...!" seru Nyonya Calisa tertahan.
Noda merah itu adalah darah. Benar saja. Inilah yang ditakutkannya.