"Calvin Wan adalah pria yang sempurna di mataku. Ia ayah, suami, sahabat, pendamping hidup, dan kekasih sejati. Beruntung aku ditakdirkan sebagai wanita yang mendampinginya. Meski Calvin bukan yang pertama, tapi dialah yang terakhir."
Dalam waktu singkat, foto itu dipenuhi puluhan like dan komentar. Tak sedikit netizen yang iri dan cemburu. Mereka mendambakan pria seperti Tuan Calvin sebagai pasangan hidup. Tersenyum puas, Nyonya Calisa meletakkan kembali smartphone-nya dan fokus pada artikelnya.
** Â Â
Rush berwarna silver itu hanya satu dari sekian banyak mobil yang terjebak padatnya arus lalu lintas di Jalan Ir. H. Djuanda. Orang terkadang lebih suka menyebutnya Jalan Dago.
Weekdays atau weekend tak ada bedanya. Tetap saja pengguna jalan dihadang kemacetan. Membuat mereka terkadang berpikir ulang untuk bepergian jika tidak benar-benar perlu.
Demi membunuh waktu, Tuan Calvin membuka media jurnalisme warga tempatnya one day one article dari tabletnya. Nyonya Calisa melakukan hal serupa. Sedangkan Clara mendengarkan lagu-lagu favoritnya dari audioplayer.
"Aku membaca artikelmu, Calisa." Tuan Calvin memulai pembicaraan.
"Oh ya? Bagaimana pendapatmu?" sambut Nyonya Calisa antusias.
"Aku tidak setuju dengan tulisanmu pagi ini."
Senyuman di wajah Nyonya Calisa sedikit memudar. "Why?"
"Materi bukan segalanya. Kebahagiaan tidak hanya karena materi. Aku sering menemukan orang-orang yang hidup sederhana, tapi mereka sangat bahagia. Mereka tidak punya motor, tidak punya mobil. Tapi tetap bahagia."