Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cinta, Bisakah Dibeli dengan Materi?

9 Agustus 2017   06:03 Diperbarui: 10 Agustus 2017   10:26 1560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai gadis cantik dan baik hati, mudah bagi Marina untuk merebut hati para pria. Kenyataannya, kisah cinta Marina tak pernah mulus. Saat ini ia jatuh cinta pada seorang pemuda dari keluarga miskin bernama Iskandar. Entah mengapa, Marina sangat mencintainya. Padahal Iskandar sama sekali tak masuk dalam kriteria yang dicarinya. Cinta itu datang begitu saja.

Marina sangat yakin, Iskandarlah cinta sejatinya. Sebab Marina mencintai Iskandar tanpa syarat. Ia tak butuh alasan apa pun untuk mencintai pemuda itu.

Setelah memantapkan hati, Marina memperkenalkan Iskandar pada orang tuanya. Awalnya ia menyembunyikan rasa cintanya pada Iskandar. Marina takut orang tuanya tak setuju. Di luar dugaan, reaksi orang tuanya cukup positif. Mereka tak keberatan dengan pilihan putri kesayangannya. Mereka tak mempermasalahkan status dan latar belakang Iskandar.

Seiring berjalannya waktu, Marina memutuskan untuk serius dengan kisah cintanya. Tak ada lagi waktu untuk bermain-main. Terlebih Marina sudah tak mau berpacaran. Demi membuktikan keseriusannya, Marina mengajukan tawaran pada Iskandar: keluar dari lembaga tempatnya mengabdi, lalu menjalankan bisnis keluarga. Iskandar ditawari menjalankan bisnis keluarga oleh orang tua Marina. Itu pun bila Iskandar bersedia mengubah jalan hidupnya. Dari calon rohaniwan menjadi pebisnis. Marina meminta Iskandar memikirkan baik-baik tawarannya.

Tiga bulan berlalu. Akhirnya Iskandar memberikan jawaban. Ia tak bisa bersama Marina. Ia ingin tetap mengabdi di lembaga tempatnya tinggal dan belajar selama sepuluh tahun terakhir. Alasannya pun sangat tidak masuk akal menurut Marina: hanya karena tidak enak dan berutang budi pada pemimpin lembaga itu.

Perpisahan mereka berlangsung tidak elegan. Hati Marina hancur. Ia terluka dengan keputusan Iskandar. Marina menyesali diri dan kisah cintanya. Mengapa kisah cintanya tak semulus teman-temannya? Mengapa ia bisa melakukan banyak kegiatan, pernah diamanahi memimpin sebuah grup musik, sering melakukan kegiatan sosial untuk anak-anak yatim-piaatu, rajin beribadah, terjun ke dunia broadcast dan literasi, serta banyak kelebihan lainnya, justru mempunyai cerita cinta yang menyedihkan? Sementara banyak teman perempuannya yang tidak begitu cantik, cenderung pemalas, egois, dan materialistis, kehidupan cintanya begitu sempurna.

Kegagalan cintanya dengan Iskandar sukses mematahkan hati Marina. Namun Marina menghadapi siklus patah hatinya dengan elegan. Ia menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan positif, siaran radio, berinvestasi saham, merencanakan bisnis penjualan bunga, dan menerbitkan novel. Dalam keadaan terpuruk, Marina tak sendirian. Ronny, saudara laki-lakinya, selalu mensupportnya. Membangkitkan kembali harapan di hati Marina. Dengan semangat hidup yang kembali pulih dan support dari Ronny serta orang-orang terdekatnya, Marina mengumpulkan kembali kepingan-kepingan hatinya. Ia kini tampil semakin cantik. Wajahnya makin menawan. Penampilannya dua kali lipat lebih anggun. Marina menemukan hikmah dari kasus patah hatinya.

Meski demikian, sering kali Marina bertanya-tanya dalam hati. Mengapa Iskandar sekeras itu menolaknya? Apakah Iskandar sama sekali tak tergerak untuk hidup sukses, mapan, dan kaya? Bukankah materi bisa membahagiakan diri dan keluarganya? Benarkah Iskandar sebodoh itu dengan menolak tawaran berbisnis dari seseorang yang tulus mencintainya? Tidakkah Iskandar memikirkan keluarganya? Berbisnis bisa membuat Iskandar dan keluarganya hidup lebih baik. Tidak perlu bergantung pada lembaga yang telah menghidupi mereka selama ini. Mereka bahkan bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan hidup mandiri. Sebesar itukah utang budi Iskandar pada lembaga yang telah membiayai hidupnya? Sampai-sampai ia menolak peluang kesuksesan dan lebih memilih terpenjara kemiskinan seumur hidupnya di sana?

Kasus di atas memberikan cerminan baru tentang cinta. Bahwa cinta tak bisa dibeli dengan materi? Benarkah demikian?

Para pakar sosiologi mengemukakan kesimpulan dari hasil penelitian mereka. Dilansir dari The Mintel Research Company, orang yang mempunyai kelebihan materi mempunyai peluang besar meraih kehidupan cinta yang bahagia. Orang dengan kelebihan materi cenderung lebih selektif memilih pasangan. Semakin tinggi kemampuan finansial seseorang, semakin besar potensinya untuk meraih kehidupan cinta yang bahagia.

Uang diasosiasikan sebagai ukuran kesuksesan seseorang. Semakin banyak uang yang dimilikinya, semakin ia dianggap sukses. Meski demikian, kesuksesan tak hanya mencakup aspek finansial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun