Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Buruh - Buruh harian lepas

Latifah, seorang wanita penyuka membaca dan menulis sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membongkar Sendu

17 Maret 2023   15:34 Diperbarui: 17 Maret 2023   15:37 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Membongkar Sendu

Oleh: Latifah Hardiyatni

Aku mengambil kunci motor sebelum masuk ke dalam rumah. Terlihat Ibu Mertua sedang duduk di teras rumah dengan tatapan sendu. Tak ada semangat yang terpancar di wajah tuanya. Aneh, tak seperti biasa yang selalu bersemangat mengerjakan ini itu hingga adzan Dzuhur berkumandang.

Aku mengucap salam sambil membuka pintu pagar setinggi satu meter. Motor sengaja tak aku masukkan ke dalam rumah sebab sebentar lagi akan kembali ke TK. Bian, anak bungsuku akan pulang sebentar lagi. Ujian tengah semester menjadi alasan dia pulang lebih awal dari biasanya.

Ibu menengok dengan malas sembari menjawab salam. Tatapan matanya menatapku sejenak. Senyum yang terlihat sangat kaku itu tergambar dari wajah keriputnya.

"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil duduk di sebelah Ibu.


Mataku melirik minuman jahe dalam cangkir yang tadi kubuat belum juga disentuh oleh Ibu. Bahkan hingga uapnya menghilang minuman itu masih saja utuh. Pasti Ibu sedang ada sesuatu yang mengganjal pikiran dan mengusik perasaannya hingga minuman favorit yang setiap pagi tak pernah absen diabaikan begitu saja.

Alih-alih menjawab Ibu justru membuang muka sambil mendesah pelan. Perlahan, kepalanya menengok halaman depan rumah yang masih ada tenda untuk orang meninggal kemarin. Ya, kemarin pagi Bu Rahmi yang rumahnya berhadapan dengan rumahku meninggal dunia.

"Beberapa hari yang lalu aku masih ngobrol sama Rahmi," kata Ibu pelan dengan telapak tangan mengetuk-ketuk ujung pegangan kursi. "Dia memang terlihat pucat, tapi enggak mau disuruh berobat ke rumah sakit. Aku enggak nyangka kalau dia bakal meninggal."

"Ajal, kan, memang misteri, Bu. Cuma Tuhan yang tahu."

"Kok, kayaknya terkesan mendadak. Mendadak sakit ginjal dan meninggal."

Bu Rahmi memang dirawat di rumah sakit. Namun, tindakan itu sudah terlambat. Penyakit ginjalnya sudah tak bisa diobati lagi. Tambah darah, cuci darah, tak bisa lagi membantunya. Sementara untuk operasi tak memungkinkan.

"Pasti sudah lama Bu Rahmi sakit itu, Bu. Cuma mungkin tak terlalu dirasakan, tak terlalu ditanggapi gejala awal yang dirasakan. Kan enggak mungkin, Bu tiba-tiba sakit gagal ginjal terus meninggal."

"Bener juga kamu."

"Lagian, Bu, sakit ginjal itu biasanya gak begitu terasa gejalanya. Harus dengan cek darah dan urin agar bisa tahu. Itu pun kalau ginjalnya sudah sakit 20% baru bisa terdeteksi keanehan dalam darahnya."

Ibu mendesah pelan. Pandangannya turun, sepertinya sedang menatap telapak tangannya yang saling meremas.

"Kemarin aku ajak Ibu buat cek kesehatan bukan untuk nakut-nakuti seperti yang Ibu bilang. Kalau kita tahu lebih dini apa yang kita derita, akan lebih mudah juga untuk mengobatinya, Bu. Usia memang tak bisa ditawar-tawar, tapi setidaknya kita berusaha agar tetap sehat sampai tua."

"Fi, apa tawaran kamu masih berlaku?"

Senyum seketika merekah di bibirku. Seruan puja-puji terus saja terucap dalam hati. Akhirnya Ibu mau juga diajak cek kesehatan. Sudah lama aku mengajaknya, tapi seribu alasan selalu Ibu berikan untuk menolaknya.

"Masih, Bu. Ibu mau cek di mana? Dokter langganan Ibu? Nanti sore kita ke sana, ya."

"Enggak usah di sana," jawab Ibu disertai gelengan kepala.

"Loh, kenapa, Bu?"

"Ibu tahu bagaimana kondisi keuangan kamu. Dokter langganan Ibu itu kan cukup mahal. Uangnya digunakan saja untuk mencukupi kebutuhan hidup."

"Terus Ibu mau cek di mana?"

"Besok aja ke puskesmas. Biayanya lebih murah."

"Tapi, kan, antrinya lama, Bu. Emang Ibu gak keberatan nunggu lama?"

"Enggak apa-apa. Gak tiap hari juga. Nanti bisa periksa apa aja?"

"Ibu mau periksa apa? Gula darah, kolesterol, asam urat, HB, tensi, cek mata juga bisa, Bu."

"Ya sudah kalau gitu Ibu mau semuanya. Besok temenin Ibu pas ambil darah, ya."

"Iya, Bu."

Seulas senyum terlihat mengembang di bibir Ibu. Meski mata itu masih sedikit sendu, setidaknya senyuman mulai terlihat. Mungkin ini sudah terlambat untuk melakukan pemeriksaan rutin dengan Ibu. Namun, bukankah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali? Seandainya saja aku tau tak-tik ini untuk membujuk Ibu, pasti sudah sejak kemarin-kemarin Ibu mau diajak periksa. Mungkin kedepannya aku harus lebih lembut saat berbicara agar Ibu mau mendengarkan.

Magelang, 17 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun