Dalam dunia yang semakin terhubung ini, engagement atau keterlibatan menjadi salah satu aspek yang sangat penting dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Engagement tidak hanya berarti berinteraksi secara fisik, tetapi juga berpartisipasi dalam percakapan, kegiatan, atau bahkan memberi dukungan secara emosional dalam sebuah kelompok. Dengan engagement yang tinggi, seseorang dapat mempererat ikatan dengan orang lain, merasakan keterlibatan, dan menjadi bagian dari sebuah komunitas.
Sementara itu, social esteem mengacu pada rasa penghargaan yang diterima seseorang dari orang lain dalam kelompok atau komunitasnya. Social esteem ini erat kaitannya dengan bagaimana seseorang dihargai oleh orang-orang di sekitarnya, baik dalam aspek kemampuan, karakter, atau kontribusi mereka terhadap kelompok tersebut. Kesehatan sosial dan emosional seseorang sering kali bergantung pada tingkat social esteem yang mereka rasakan dalam interaksi sosial.
Semakin besar keterlibatan seseorang dalam kelompok, semakin besar pula kemungkinan mereka mendapatkan social esteem, yaitu penghargaan yang datang sebagai hasil dari kontribusi, partisipasi, dan interaksi mereka. Oleh karena itu, membangun hubungan yang aktif dan positif dalam suatu komunitas sangat penting untuk mendukung kesejahteraan sosial.
Namun, dalam banyak kelompok atau komunitas, sering kali terdapat ketidaknyamanan yang muncul karena dinamika sosial yang tidak selalu mendukung keterbukaan dan partisipasi aktif.Â
Ketidaknyamanan ini bisa terjadi karena berbagai faktor, seperti adanya pemimpin yang terlalu dominan, perbedaan pendapat yang tidak dihargai, atau bahkan adanya circle yang mendukung satu pandangan atau keputusan tanpa memberi ruang bagi ide-ide baru.Â
Ketika individu merasa pendapat dan kontribusinya tidak diterima atau bahkan diabaikan, rasa keterlibatan mereka akan menurun. Dalam situasi ini, mereka merasa terpinggirkan dan tidak dihargai dalam komunitas, yang berdampak pada rendahnya tingkat social esteem mereka.
Andaikanlah dalam sebuah Kelompok Ibu-Ibu PKK, terdapat seorang anggota yang merasa terperangkap dalam suasana sosial yang tidak mendukung keinginannya untuk berpendapat secara bebas.Â
Pimpinan kelompok mengelola kegiatan dengan cara yang sangat sentralistik, di mana keputusan selalu ditentukan oleh satu orang dan diikuti oleh circle yang cenderung menjadi "yes man" --- selalu setuju tanpa memberikan pandangan yang berbeda. Si anggota ini, yang sebenarnya ingin ada perubahan dalam iklim kelompok menuju yang lebih terbuka dan inklusif, merasa terhambat oleh atmosfer tersebut.
Meskipun ia memiliki ide-ide untuk membuat perubahan yang lebih segar, ia merasa sulit untuk mengungkapkan pendapatnya karena takut akan ditentang atau diabaikan. Dalam situasi ini, ia memilih untuk bertahan, meski dengan perasaan tidak puas, karena di luar kelompok tersebut, ia tidak memiliki komunitas sosial lain yang bisa memberinya rasa kebersamaan dan terutama pengakuan.