Mohon tunggu...
Langit Muda
Langit Muda Mohon Tunggu... Freelancer - Daerah Istimewa Yogyakarta

Terimakasih Kompasiana, memberi kesempatan membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Raket

"Lama Tak Bertemu, Ternyata Kau Bukan yang Dulu Lagi"

4 Agustus 2021   10:27 Diperbarui: 4 Agustus 2021   12:10 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Salam olahraga.

Salam bulutangkis.

Halo Badminton Lovers.

Misal kita punya teman masa kecil yang sangat jago main pingpong. Bola pelintirannya menyulitkan, smashnya mematikan. Sepuluh tahun kemudian kita bertemu. Karena merasa sangat penasaran dulu sering mengalami kekalahan, kita ajak dia main pingpong.

Tetapi kita kecewa. Ternyata dia sudah tidak jago lagi bermain pingpong. Smashnya lebih sering nyangkut, bola pelintirannya pun terlalu lempeng. "Kau bukan yang dulu lagi", begitu batin kita pada teman tersebut.

Entah apa yang terjadi selama sepuluh tahun tersebut. Mungkinkah dia tidak pernah bermain pingpong lagi? Sementara kita hampir tiap hari masih sering melakukannya.

"Kau bukan yang dulu lagi", begitu kata Dewi Yull dalam lagunya. "Kau bukan yang dulu lagi", begitu mungkin batin Heo Kwang Hee pada Kento Momota. "Kau bukan yang dulu lagi", begitu mungkin batin lawan-lawan yang dikalahkan oleh Lee Yang/Wang Chi-Lin. "Kau bukan yang dulu lagi", begitu mungkin batin lawan-lawan yang dikalahkan oleh Greysia Polii/Apriyani Rahayu.

Sebelum pandemi kita menyaksikan begitu dominannya sejumlah pemain merajai peta perbulutangkisan di tiap nomor:

  • Tunggal putra: Kento Momota
  • Tunggal putri: Tai Tzu Ying
  • Ganda putra: Kevin/Gideon
  • Ganda putri: Yuki/Sayaka
  • Ganda campuran: Zheng/Huang

Kenyataannya, tidak ada satupun dari nama-nama tersebut yang berhasil meraih medali emas. Bahkan Kento Momota, Kevin/Gideon, Yuki/Sayaka, tidak berhasil merebut medali apapun. Atmosfer Olimpiade memang berbeda.

Pandemi. Itu mungkin kambing hitam yang bisa dituding sebagai penyebab "kekacauan" hasil-hasil Olimpiade kali ini. Bukan, ini bukan bicara tentang penyelenggaraan. Tentang penyelenggaraan Olimpiade, kita mesti mengacungkan jempol dan membungkukkan badan kepada panitia dan pemerintah Jepang yang telah memberikan kinerja terbaiknya, meski sedang berada dalam situasi yang penuh dengan ketidakpastian. Arigatou gozaimasu.

Saya batasi artikel ini pada badminton, meski saya yakin "kekacauan" hasil ini juga terjadi pada cabang lainnya. Karena praktis semua cabang olahraga merasakan akibat dari pandemi.

Pandemi telah menyebabkan banyak kejuaraan dibatalkan. Ada yang ditunda tanpa kepastian. Ada yang diganti tanggalnya. Ada yang bisa terselenggara, tetapi mengalami penurunan drastis jumlah negara peserta yang batal datang dengan bermacam alasan yang berkaitan dengan pandemi.

 

Katakanlah ada suatu kejuaraan dengan rating Super 750 atau Super 1000. Tetapi kurang dari 50% kekuatan bulutangkis dunia yang mengikutinya. Maka, hasil-hasil pertandingan kurang dapat dijadikan bahan analisa dari perkembangan kekuatan bulutangkis dunia saat tersebut. Istilahnya "Super 1000 serasa Super 300".

Betapa banyak pemain atau pasangan yang tidak tampil dalam turnamen. Segi baiknya, lawan tidak dapat memantau perkembangan kekuatan mereka, tetapi segi buruknya mereka juga tidak dapat memantau perkembangan lawan.

Tim pelatih dari seluruh negara pasti judeg dikarenakan masa pandemi ini. Mereka yang selama ini terbiasa mengukur kinerja sekedar dari hasil mengikuti turnamen akan kesulitan untuk menganalisa. Hanya tim pelatih yang kreatiflah yang di satu sisi mampu mempertahankan kondisi pemain, di sisi lain mengupgrade-nya dengan analisa prediksi perkembangan lawan yang dihadapi.

Kita berlatih, lawan juga berlatih. Kita menganalisa, lawan juga menganalisa. Hanya saja kali ini karena jarangnya turnamen maka ada keterbatasan masukan. Segi fisik sudah ada bakuan yang dijadikan acuan. Segi teknik dan taktik inilah yang selalu berkembang dan berubah, menyesuaikan dengan jaman dan peraturan yang diterapkan. Setiap lawan memiliki keunikan, keunggulan, kelemahan, kebiasaan, tersendiri yang mesti dipelajari. Bohong kalau ada yang bilang, "Siapapun lawannya, pokoknya saya akan main kayak begini."

Perubahan gaya, pola, dan karakter permainan itulah yang diamati dari tiap turnamen. Lha kalau turnamennya sendiri tidak ada, atau pesertanya minim, tentu saja supply informasi yang diperlukan menjadi berkurang. Tim pelatih akan kesulitan untuk memprediksi kekuatan dari bakal lawan yang dihadapi. Mungkin lebih sulit dari memprediksi ramalan cuaca. Diperkirakan cuaca cerah tak berawan, ternyata yang muncul di lapangan adalah badai petir disusul angin ribut.

Sebulan lalu siapa yang bisa memperkirakan kalau Lee Yang/Wang Chi-Lin, pasangan yang dianggap medioker, bukan MD yang berbahaya, tiba-tiba menjadi begitu ganas di lapangan. Smashnya menggetarkan nyali lawan, sementara defence-nya membikin serangan lawan mlempem. "Mereka selama ini ngapain aja?", begitu mungkin yang berkecamuk di benak para kontingen bulutangkis lainnya. Kalau dalam istilah wong Jawa, "Mereka dikasih makan apa, kok bisa hebat kayak gitu?"

Saya sampai tersenyum membaca komentar sejumlah BL Tiongkok di Forum Tiongkok (semacam forum online para BL Tiongkok), di antaranya menganggap selama ini Greysia/Apriyani sengaja menyembunyikan kekuatan mereka yang sesungguhnya untuk "menipu" para lawan, karena target utama mereka adalah Olimpiade.

Ya, apa saja yang dilakukan oleh tim pelatih suatu negara seolah menjadi misteri besar yang baru terungkap di lapangan Olimpiade. Misteri yang berjalan satu setengah tahun lebih. Pandemi lah yang memaksa semua rahasia itu tersimpan cukup lama.

Di masa pandemi para atlet seolah-olah diam-diam mengasah senjata rahasianya tanpa pernah terungkap ke publik. Bagaikan senjata Kunta Wijayandanu yang disimpan rapat-rapat, dan baru dihunus di palagan Kurusetra.

"Saya baru tahu kalau dia bisa bermain seperti itu". "Saya baru tahu kalau dia bisa bermain sehebat itu." "Ke mana saja dia selama ini." Begitulah publik saat menyaksikan para atlet yang bermain "tidak seperti biasanya" di Olimpiade.

"Aku yang dulu bukan aku yang sekarang", itu kata penyanyi cilik Tegar dalam lagunya. "Aku yang dulu bukan aku yang sekarang", mungkin begitu ungkapan hati Lee Yang/Wang Chi-Lin saat berdiri di atas podium kemenangan. "Aku yang dulu bukan aku yang sekarang", mungkin begitu ungkapan hati Kevin Cordon saat menapak ke semifinal. "Aku yang dulu bukan aku yang sekarang", mungkin begitu ungkapan hati Greysia/Apriyani saat menekuk wakil China di final.

Kharisma Olimpiade membuat sebagian atlet mempunyai semangat berlebih, meski sebagian ada yang mentalnya goncang malah kerasukan error. Selepas Olimpiade bumi terus berputar. Asian Games 2022 sudah menanti. What happens in Tokyo stays in Tokyo. Teruslah mengasah diri. Teruslah berprestasi. Tentu saja kita ucapkan selamat melanjutkan karyanya dalam bentuk yang lain, bagi yang selepas Olimpiade ini hendak pensiun dari lapangan bulutangkis.

Aku yang dulu bukanlah yang sekarang

Dulu ditendang sekarang 'ku disayang

Dulu, dulu, dulu 'ku menderita

Sekarang aku bahagia

(Tegar)

WYATB GBU ASAP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun