"Buat apa?" kata Ruhin waktu kutanya, "Aku sudah puas dengan memukul muka sendiri."
Marni pun tidak pernah menuntut suaminya untuk begini begitu, padahal ia kerap dimarahi.
"Memang sifatnya pemarah, toh. Masih untung yang dia marahi istrinya, bukan istri orang lain."
Lagi-lagi, aku hampir tersedak ludah sendiri mendengar penuturan Marni. Membuatku sampai pada suatu kesimpulan, bila selama ini yang membuat hubungan mereka tetap awet adalah sikap mereka itu. Menerima dan mengakui kelemahan masing-masing.
Pagi ini, Ruhin seperti biasa akan berangkat mengambil nira, bokor-bokor kosong sudah berjejal di pundaknya. Marni pun sedang pada rutinitasnya, menyalakan tungku untuk nanti mengolah hasil sadapan suami, sembari wara-wiri mencuci pakaian dan menanak nasi.
Aku menangkap suatu yang janggal kali ini, sebab dari rumah tetangga unik itu tidak terdengar Ruhin yang marah-marah, atau Marni yang masa bodoh. Hari ini, pasangan suami istri itu terlalu normal. Aku sampai bertanya-tanya.
Aku melamun, menerka-nerka apa yang terjadi di antara mereka. Namun, hanya sebentar. Aku segera istigfar, karena merasa sudah terlalu jauh mencampuri kehidupan orang, meski cuma dalam pikiran.
Siang ini matahari begitu kereng seperti Ruhin pada Marni, dan bumi pun terlalu 'bodo amat' laksana Marni menyikapi watak si suami. Aku yang baru pulang dari sawah, langsung duduk melepas lelah.
Ah! Tetanggaku itu, sesiang ini tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di rumah mereka. Ke mana dan kenapa? Aku hanya bertanya sendiri, tanpa mau mencari tau.
Aku sempat terlelap di balai-balai, hingga kegaduhan menyadarkan. Pakewuh itu berasal dari rumah depan, tetanggaku Ruhin dan Marni.
"Ada apa, Pak Kyai?"