Mohon tunggu...
Agust Hutabarat
Agust Hutabarat Mohon Tunggu... profesional -

Pembela Umum (Public Defender) di LBH Mawar Saron Jakarta penikmat Kopi Hitam yang mencintai adat Batak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menanti Senja di Timur

13 Juni 2010   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

” Masih diperiksa Gus, doakan ya supaya semuanya kembali seperti biasa lagi.” Kata Mbak Nova sambil tersenyum ke arahku. Namun senyuman itu begitu pahit dan kosong. Senyuman seorang ibu yang gelisah menantikan saat-saat kepergian putrinya.

Tiba-tiba dokter dan dua orang perawat keluar dari ruang pemeriksaan. Mbak Nova dan Mas Elang langsung menyerang dokter itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun sebagai seorang profesional, dokternya mengajak mereka berdua untuk berbicara di ruang kerjanya.

” Dik, tungguin Ita sebentar ya. Mas sama Mbakmu mau bicara dengan dokternya.” Kata Mas Elang.

Aku memasuki ruang pemeriksaan Ita, bau obat yang sangat aku benci langsung masuk ke hidungku. Di tempat tidur terbaring Ita dengan jarum infus menancap di tangan kanannya. Dia tersenyum bahagia melihat kedatanganku. Itu yang aku suka dari dirinya, hidupnya adalah senyuman.

” Om tadi pak dokternya bikin ini di tangan Ita, rasanya sakit Om.” Katanya sambil menunjukkan tangannya yang terpasang infus. Aku hanya tersenyum membelai rambutnya yang kusut.

Mbak Nova dan Mas Elang masuk. Mbak Nova menangis sementara Mas Elang menunjukkan kegelisahan yang amat sangat mendalam. Aku langsung tahu apa yang dikatakan dokter kepada mereka. Pasti dokter berkata jika umur Ita tinggal sebulan, seminggu atau bahkan tiga hari lagi.

” Mbak gimana hasil pemeriksaan Ita, apa penyakitnya sudah membaik?” Tanyaku pura-pura tidak tahu dengan lukisan kesedihan mereka.

” Dokternya bilang kalau umurnya Ita tinggal dua hari lagi.” Kata Mas Elang dengan suara yang berat dan serak karena menahan tangis. Aku terdiam bagaikan patung, kata dua hari lagi membuatku beku. Bahkan diagnosa dokter lebih cepat dari apa yang aku bayangkan.

” Ma, Ita gak mau di sini. Kita pulang ke tempat yang kemarin aja ya Ma, Ita ingin melihat matahari lagi.” Tiba-tiba Ita membuyarkan keheningan yang sempat tercipta di kamar perawatan Ita.

Atas permintaan dari Mas Elang dan Mbak Nova, akhirnya Ita dibawa pulang ke rumah yang di pantai. Karena dia ingin melihat matahari terbenam, aku dan Mas Elang mengangkat tempat tidurnya ke dekat jendela yang menghadap langsung ke pantai. Dia begitu ceria untuk menantikan saat pergantian waktu. Sambil berbaring dia terus mendekap bunga Edelweis kesukaannya.

Dua hari begitu cepat untuknya. Aku duduk di samping tempat tidurnya untuk mengisi sisa-sisa waktu yang tertinggal untuknya. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin aku berikan kepadanya, namun aku harus berlomba dengan waktu untuk mencapai finis yang terasa begitu dekat sekali dengan ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun