Mohon tunggu...
Agust Hutabarat
Agust Hutabarat Mohon Tunggu... profesional -

Pembela Umum (Public Defender) di LBH Mawar Saron Jakarta penikmat Kopi Hitam yang mencintai adat Batak.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menanti Senja di Timur

13 Juni 2010   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

” Ah…. Om curang, ayo Om sekarang Ita pengen tau.” Katanya sambil menggoyang-goyangkan tanganku.

Kupandangi wajahnya yang polos. Aku tersenyum kearahnya sambil mengangkat tubuhnya ke pangkuanku. Diapun melingkarkan kedua tangannya ke leherku dan terbenam di dadaku. Rangkulan tangan mungilnya menghangatkan kalbu. Sungguh dia bidadari kecilku yang turun dari sorga.

Aku bahagia memeluk tubuh mungilnya. Aku juga bahagia disaat seperti ini aku bisa memenuhi permintaanya. Sebuah permintaan yang membuatku sempat bingung. Dia ingin sekali pergi ke timur untuk melihat senja. Mulut kecilnya mengucapkan begitu saja tanpa aku tahu tentang maksudnya. Sejauh yang ku tahu bahwa senja itu ada di barat dan aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan timur. Timur itu panjang, sepanjang dia, aku dan kita memandang ke arah matahari terbit. Itulah timur, sama seperti barat, selatan dan utara takkan kita temui batasnya.

Tapi itu adalah sebuah teori tentang alam semesta, teori yang hanya menggabungkan kenyataan dengan ilmu pengetahuan. Tetapi kadang otak kita tidak dapat menjangkau sebuah alam ilusi yang sesungguhnya tidak boleh untuk kita abaikan. Tapi anak kecil di hadapanku ini telah memberiku sebuah kuliah berharga tentang dangkalnya otak kita untuk menjangkau sebuah imajinasi seseorang yang bermulut polos dan penuh arti. Sungguh dia begitu istimewa, usianya yang belia telah menunjukkan sebuah karunia yang besar tentang kekuatan dunia imajinasi seorang anak kecil, yang bahkan melebihi orang dewasa seperti aku.

Mungkinkah dia sendiri yang mengatakan itu? Ataukah ada sebuah kekuatan yang merasuki jiwanya untuk menggerakkan kedua bibirnya. Atau juga suara alamkah itu yang datang bersama angin yang berhembus. Tapi aku yakin dalam jiwaku, dia memang sangat istimewa.

Alasan itu yang membuatku untuk membawanya ke tempat ini. Karena kebetulan tempat ini adalah ujung paling timur dari pulau ini. Mungkin aku telah membohonginya, tapi yang ku tahu hanya sebatas ini. Ini yang ku anggap timur, aku tidak tahu tentang timur yang dimaksud. Yang terpenting aku sangat menyayanginya dan aku ingin membahagiakannya. Tidak lebih dari itu.

Malam semakin larut, dia sudah memasuki alam tidurnya di pangkuanku. Matanya yang terpejam memberitakan bahwa damainya jiwa mudanya. Namun wajahnya yang pucat membuatku sadar akan semua akhir yang harus aku lalui. Bukannya aku ingin mengingkari kuasa dari Ilahi. Sekali lagi aku hanya menggunakan kemampuan otakku yang sebatas hal-hal yang nyata. Tapi di dalam sebuah ruang kosong di relung hatiku, aku menantikan kuasa itu.

Matahari sudah terbangun kembali, ternyata pagi sudah datang. Rasa kantuk yang berat dikalahkan oleh kedatangan Ita. Seperti biasanya dia datang membangunkanku. Ada-ada saja caranya untuk membuatku untuk tidak melanjutkan tidurku. Tapi aku bahagia dengan kehadirannya. Dia datang dengan senyuman kesukaanku, bersama kehangatan mentari pagi yang menyelinap masuk dari celah jendela kamar yang sengaja tidak aku tutup.

” Om bangun…….!” Katanya sambil menarik selimut dari tubuhku, lalu dia naik ke tempat tidur dan menepuk-nepuk wajahku. Aku tersenyum dan memeluknya. ” Om, kata mama Om harus bangun, Ita sama mama mau pergi.” Tambahnya.

Aku baru ingat kalau hari ini Ita mulai menjalani pengobatan leukimia yang dideritanya. Sebenarnya inilah saat yang sangat aku takutkan. Aku takut jika nanti dia pergi dan tidak akan kembali lagi. Pasti tidak akan ada lagi yang memanggilku Om. Karena aku tahu dia tidak akan tersembuhkan lagi, leukimia yang dideritanya sudah mencapai stadium akhir. Tiba-tiba saja aku menjadi rapuh dan gelisah.

” Om ayo bangun….!” Teriaknya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun