Pengumuman UTBK 2025 akhirnya keluar. Seperti biasa, lini masa dipenuhi unggahan peserta—ada yang menangis bahagia, tak sedikit juga yang menuliskan kekecewaan. Tapi di luar euforia kelulusan atau tidaknya seseorang, ada satu hal yang seharusnya jadi bahan renungan bersama: apakah UTBK sebagai sistem seleksi masuk perguruan tinggi benar-benar memberikan kesempatan yang setara untuk semua?
Jawaban jujur saya: belum.
Ketimpangan Akses dari Awal
UTBK memang digadang-gadang sebagai sistem seleksi yang adil karena mengandalkan tes berbasis kemampuan logika dan penalaran, bukan hafalan. Tapi bagaimana dengan anak-anak dari pelosok daerah dibanding mereka yang tinggal di kota besar? Seberapa setara akses mereka yang tinggal di pelosok dibanding anak-anak di kota? Jangankan ikut bimbel, masih banyak siswa di luar Pulau Jawa yang harus menempuh perjalanan belasan kilometer hanya untuk mengakses jaringan internet stabil atau sekadar belajar lewat video daring.
Sementara itu, di kota-kota besar, ada berbagai akses ke bimbingan belajar, tryout berbayar, sampai konten edukasi premium bisa diakses jauh lebih mudah. Hasilnya? Ketimpangan kemampuan itu sudah terjadi bahkan sebelum ujian dimulai.
Lalu, dari segi keterbatasan ekonomi, apakah bisa dikatakan setara untuk persiapan ujian masuk PTN ini? Memang benar, seleksi UTBK tidak ditarik biaya sama sekali. Namun, peluang lolos untuk anak-anak yang punya kemampuan ekonomi lebih pastinya lebih besar. Mereka bisa memperoleh buku-buku yang relevan, bimbingan belajar yang maksimal yang harganya tentu hanya bisa dijangkau oleh orang-orang tertentu.
“Adil” untuk Siapa?
Secara teori, UTBK mengukur potensi, bukan hasil pendidikan sebelumnya. Tapi dalam praktiknya, siswa dari keluarga dengan ekonomi kuat punya lebih banyak resources untuk mempersiapkan diri. Tak hanya materi belajar, mereka juga punya waktu, ruang belajar nyaman, dan dukungan psikologis yang tidak semua siswa miliki.
Lantas, jika peserta dari latar belakang ekonomi berbeda-beda diadu dalam sistem yang sama, apakah hasilnya bisa benar-benar mencerminkan potensi yang sebenarnya? Padahal, jika tidak lolos UTBK, mereka dengan ekonomi kurang ini juga tidak memungkinkan untuk kuliah di perguruan tinggi swasta dengan harga yang jauh lebih tinggi lagi.
Pemerataan yang Masih Setengah Hati