Menelaah Urgensitas Arah PembangunanÂ
Indonesia saat ini tengah mencari jalur percepatan pembangunan untuk mencapai visi besar Indonesia Emas 2045. Di tengah momentum tersebut, dua sektor krusial—agrikultur dan manufaktur—mendapat sorotan utama. Agrikultur menjadi sektor yang penting, demi menjaga ketahanan pangan nasional sekaligus menjadi penopang ekspor. Sektor ini mampu menyerap hingga 29,36% tenaga kerja nasional (BPS, 2023) dengan komoditas ekspor utama seperti kelapa sawit, coklat, kopi, dll. Di sisi lain, sektor manufaktur menyumbang porsi PDB yang lebih besar dan menjadi motor industrialisasi.
Dari perspektif teori pembangunan, Indonesia sedang bergerak dari tahap ekonomi berbasis sektor primer menuju tahap transformasi struktural. Proses ini tergambar dari RPJMN 2025-2029 sebagai bagian dari upaya mencapai Indonesia Emas 2045 (Kementerian PPN/Bappenas, 2023). Disebutkan dua fokus utama diantaranya: swasembada pangan dan modernisasi agrikultur serta hilirisasi industri dan transformasi manufaktur. Hal ini sejalan dengan Two-Sector Model yang dikembangkan oleh Arthur Lewis. Model ini menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi ditandai oleh pergeseran tenaga kerja dari sektor tradisional (agrikultur subsisten) ke sektor modern (manufaktur). Perpindahan ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, dalam realitasnya, proses transformasi ini tidak berjalan secara mulus. Keduanya menghadapi berbagai tantangan struktural. Di sektor pertanian, masih banyak petani yang bergantung pada teknologi tradisional dan beroperasi dalam skala kecil. Sebanyak 53,16% dari 28,19 juta petani masih menggunakan pola tanam konvensional tanpa mekanisasi (Suara Lamaholot, 2023). Survei Persepsi Petani 2024 yang dirilis oleh LaporIklim pun menunjukkan bahwa sebagian besar petani mengalami penurunan hasil panen akibat perubahan iklim (77,6%) dan gagal panen yang semakin sering terjadi (46,7%). Selain itu, keterbatasan akses terhadap input pertanian dan minimnya penyuluhan menjadi kendala serius dalam modernisasi pertanian.
Masalah lain adalah alih fungsi lahan. Ironisnya, Pulau Jawa—yang merupakan penghasil pangan utama dan rumah bagi 56% populasi Indonesia—justru mengalami tekanan paling besar terhadap ketersediaan lahan pertanian akibat pertambahan penduduk yang semakin padat. Setiap tahun, sekitar 150.000 hektare lahan pertanian hilang imbas dari urbanisasi yang masif dan pesatnya pembangunan infrastruktur serta perumahan utamanya di kawasan Jabodetabek, memperparah ancaman terhadap ketahanan pangan (Kementerian ATR/BPN, 2023). Selain itu, regenerasi petani menjadi isu serius: rata-rata usia petani mencapai 52 tahun, sementara petani muda (<35 tahun) hanya 12,9% (BPS, 2022).
Sementara itu, di sisi manufaktur, Indonesia menghadapi tekanan dari globalisasi, deindustrialisasi dini, dan keterbatasan inovasi—tercermin dari menurunnya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB dalam satu dekade terakhir. Menurut BPS, pada Triwulan II-2011 struktur PDB Indonesia masih didominasi oleh sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 24,3%. Akan tetapi, perlahan-lahan kontribusi tersebut menurun hingga 18,98% pada tahun 2024. Runtuhnya PT Sritex Maret 2025 lalu memberikan salah satu contoh kongkrit permasalahan manufaktur di Indonesia. Hal ini diperparah dengan kebijakan Presiden Amerika Trump yang baru-baru ini menaikkan tarif resiprokal hingga 32%. Namun ia mengumumkan rencana terbarunya untuk memberikan penangguhan selama 90 hari (kecuali kepada China) dan menurunkan tarif ke angka 10%. Bagaimanapun, hal ini mau tidak mau akan sangat berdampak pada persaingan produk Indonesia di Amerika Serikat, yang kemudian memberikan dampak pada keberlangsungan industri domestik.Â
Dengan kondisi yang demikian, muncul pertanyaan mendasar: Apakah Indonesia harus memilih fokus pada penguatan agrikultur atau manufaktur?
Oleh karena tuntutan menghadapi perubahan-perubahan global yang dinamis dan perlu adanya pemecahan masalah secara integratif, tulisan ini hendak menguatkan upaya pemerintah untuk tidak hanya fokus pada agrikultur atau manufaktur secara terpisah, melainkan harus dijalankan secara simultan dalam bentuk pembangunan ganda (dual-track development). Sektor pertanian yang kuat akan menyediakan bahan baku bagi sektor industri pengolahan, sedangkan pertumbuhan industri akan mendorong diversifikasi ekonomi dan nilai tambah nasional.
Pemerataan Infrastruktur dan Penguatan Koperasi-Korporasi
Untuk mewujudkan pembangunan sektor agrikultur dan manufaktur yang seimbang, diperlukan langkah preventif dan kuratif secara simultan.
Pertama-tama sebagai langkah preventif, lagi-lagi pemerataan infrastruktur harus menjadi prioritas, terutama di luar Pulau Jawa. Akses jalan produksi, logistik, listrik, dan pelabuhan sangat menentukan kelancaran distribusi barang dengan menurunkan biaya produksi dan mempercepat konektivitas antar wilayah. Dengan infrastruktur yang memadai, pelaku usaha dapat memperluas pasar domestik, yang menjadi penyangga ketika terjadi disrupsi atau kebijakan global yang tidak menguntungkan. Bila infrastruktur telah terbangun dengan baik, fokus selanjutnya yakni pengembangan zona agro-industri khusus per wilayah seperti Regional Agro-Industrial Hubs (RAIH) yang bisa menjadi solusi untuk mengintegrasikan produksi pertanian dan pengolahan manufaktur berbasis potensi lokal di tiap pulau. Pemerintah daerah perlu diberi otonomi fiskal untuk menarik investasi sektor riil, sehingga pengembangan tidak lagi bersifat Jawa-sentris.