Mohon tunggu...
Lailatul Q
Lailatul Q Mohon Tunggu... Freelancer - blogger

Guru, Blogger, Traveller

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gus Dur, Pesantren, dan Agama Nusantara

31 Juli 2021   16:25 Diperbarui: 31 Juli 2021   16:57 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dengan menggunakan pendekatan dakwah lewat keteladanan moral, kasih sayang, kedermawanan, toleransi, pendekatan persuasif, dan penampilan-penampilan karomah, tokoh Wali Songo dianggap representatif mewakili dewa-dewa kepercayaan masyarakat Hindu-Buddha menjadi tokoh yang dikultus-individukan sebagai “manusaia dewa” yang diliputi kekuatan mistis bersifat adiduniawi.

Sebagaimana dapat diasumsikan, pengambilalihan konsep Nawa Dewata menjadi Wali Songo terbukti memiliki pengaruh dan perubahan yang luar biasa dalam proses dakwah Islam di bekas wilayah kekuasaan Majapahit, yang sedang mengalami kemunduran dalam aspek sosiokultural-religius. Sebab gagasan abstrak yang meliputi konsep Nawa Dewata telah muncul dalam wujud yang kasat mata, yaitu manusia-manusia keramat yang memiliki kemampuan adikodrati seperti tokoh dewa dalam agama Hindu-Buddha yang abstrak dan tidak kasat mata.

Kepercayaan pra Hindu-Buddha yang animis dan dinamis—yang disebut Kapitayan, berjalin-berkelindan dengan pengaruh Hindu-Buddha. Kesemuanya memiliki unsur yang dalam pandangan Wali Songo, sesuai dengan sendi-sendi tauhid dan diserap ke dalam dakwah Islam. Pada akhirnya, Jawa yang sebelumnya tidak mengenal agama monoteis menjadi bersinar terang (Abdurrahman Mas’ud, 2004:50).

Melalui jaringan kekeluargaan yang terkoordinasi dalam gerakan dakwah, Wali Songo menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat melalui pendekatan bersifat sosio-kultural-religius lewat asimilasi dan sinkretisasi Islam dengan adat, budaya dan tradisi keagamaan setempat di Nusantara. Gerakan ini rupanya merupakan representasi dari prinsip mau’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan yang dikemas dan dikembangkan sebagai ajaran yang sedehana. Gerakan dakwahnya menyerap dan mempengaruhi kalangan petani pedesaan. Disesuaikan dengan pemahaman masyarakat setempat atau dalam istilah lain, Islam dibumikan dengan adat dan budaya masyarakat. Hal inilah yang dalam pandangan Gus Dur disebut sebagai “Pribumisasi Islam”.

Melihat dari tradisi-tradisi yang masih bisa kita jumpai, barangkali Crawfurd benar bahwa dari semua kaum pengikut Muhammad, orang Jawa adalah yang paling longgar dalam prinsip dan praktik mereka. Keyakinan serta gaya Jawa dan Islam menghasilkan apa yang diistilahkan Ricklefs sebagai “Sintesis Mistik”. Dalam batas sufisme yang luas, sintesis ini didasarkan pada 3 pilar utama; pertama, suatu kesadaran identitas islami yang kuat: menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim. Kedua, pelaksanaan lima ritual rukun dalam Islam. Ketiga, terlepas dari kemungkinan munculnya kontradiksi dengan dua pilar pertama, permintaan terhadap realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul dan banyak makhluk adikodrati lain. Proses asimilasi dan sinkretisasi memungkinkanakan kebenaran persepsi Crawfurd dan Ricklefs.

Usaha-usaha asimilatif dan sinkretik dalam dakwah Islam ala Wali Songo, secara teoritik maupun faktual dapat disimpulkan sangat sulit dilakukan oleh penyebar dakwah Islam dari golongan saudagar maupun ulama fiqh. Maka satu-satunya jawaban yang menunjukkan bekas dakwah bersifat asimilatif dan sinkretik ini adalah kaum sufi.

Melalui  pendekatan sufisme, dakwah Islam Wali Songo memasuki ranah adat istiadat yang berhubungan dengan tradisi agama baru yang mengalami proses asimilasi menggantikan tradisi keagamaan lama. Sebagaimana tradisi keagamaan Hinsu-Buddha yang disebut sradha, yaitu upacara meruat arwah seseorang setelah dua belas tahun kematiannya, diasimilasi kedalam nilai-nilai keislaman menjadi tradisi nyadran, yaitu mengirim do’a kepada arwah  orang mati. Wali Songo menggeser adat Hindu itu kepada Islam yang bermakna mengucap syukur kepada Tuhan.

Pesantren dan Sistem Pengajaran Hindu-Buddha

Kemudian penyebaran dakwah Islam Wali Songo dilakukam dengan sistem pengajaran model dukuh, asrama, padepokan, dalam bentuk pesantren-pesantren, pesulukan, peguron, juga model pendidikan masyarakat terbuka lewat langgar, tajuk, dan masjid. Para sejarawan menduga adanya kemungkinan pendirian pesantren ini terilhami oleh sistem pendidikan Hindu-Buddha. Artinya ada pengambilalihan lembaga pendidikan Hindu-Buddha menjadi lembaga pengajaran dan pengembangan dakwah berbentuk pondok pesantren. Clifford Geertz pernah mengatakan dalam Agama-Agama Jawa nya, bahwa pondok pesantren memang mengingatkan orang pada biara, tapi santri bukan pendheta. Ini menunjukkan adanya persamaan antara model pengajaran pondok pesantren dengan sistem pendidikan Hindu-Buddha.

Oleh sebab pengambil-alihan sistem pengajaran lokal berciri Hindu-Buddha dan Kapitayan menjadi lembaga pendidian Islam, maka formulasi nilai-nilai sosio-kultural-religius yang dianut masyarakat Islam yang dianut para guru sufi, memiliki kesamaan dengan agama Hindu Buddha. Hal ini dapat dipastikan dengan melihat naskah kuno berbahasa kawi yang berasal dari Majapahit memuat tata krama yang mengatur para siswa di sebuah dukuh dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tata krama tersebut meliputi aturan para siswa di sebuah dukuh, sikap hormat dan sujud bakti yang wajib dilaukan para siswa kepada guru rohaninya. Tata krama itu misal, tidak boleh duduk berhadapan dengan guru, tidak boleh memotong pembicaraan guru, menuruti apa yang diucapkan guru, mengindahkan nasihat guru meski dalam keadaan marah, berkata yang dapat menyenangkan guru, jika guru datang harus turun, jika guru berjalan harus mengikuti dari belakang dan sebagainya (Agus Sunyoto, 2014:11). Tata krama ini mirip dengan aturan yang terdapat dalam kitab Ta’limul Mutaallim, karya Syaikh az-Zarnuji sebagaimana diuraikan Agus Sunyoto.

Dalam Hindu mengenal gagasan yang mencakup triguru (tiga guru) yaitu orang tua yang melahirkan, guru yang mengajarkan rohani, dan raja. Gagasan ini masih bisa ditemukan pada masyarakat muslim di Madura yang mengenal konsep (bapa-babu-guru-ratu). Sementara yang paling beroleh penghormatan adalah guru yang mengajarkan pengetahuan rohani. Inilah sebabnya tokoh-tokoh wali Songo cenderung diindahkan masyarakat hingga saat wafatpun makam mereka dijadikan pusat peziarahan oleh masyarat. Ini menandakan bahwa praktik mistik selalu merupakan arus yang kuat di Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun