Pada satu waktu, Rambe berpikir untuk mencoba pulang kampung. Tapi rasa malunya lebih besar di banding kerinduannya pada kampung halaman. Hidupnya pun dijalani di sebuah kapal yang semakin lama semakin rusak, kayu-kayunya semakin lapuk. Beberapa kali juga tidur malamnya di kapal itu terganggu karena ular yang naik dari sungai. Sungguh kehidupan yang tak terbayangkan olehnya di meja judi.
Rambe hidup seadanya di kapal tuanya dari hasil tambal ban, sampai satu waktu penyakit TBC menyerangnya dan tak kunjung hilang sampai beberapa bulan. Dia tetap berusaha bertahan hidup sambil melawan penyakitnya. Mengisi hari-harinya dengan membersihkan kapalnya, menambal ban, begitu seterusnya sampai menjadi lelaki yang sangat tua.Â
Hingga pada suatu sore, seorang tak melihat Rambe membuka usaha tambal ban-nya. Lalu mencari Rambe di rumahnya karena pagi di hari itu, dia melihat Rambe. Ternyata Rambe sudah tak mampu melawan penyakitnya. Dia sudah terbaring tak bernyawa di atas kapal kesayangannya. Kapal yang menjadi teman perjuangan hidupnya di tanah rantau dan menjadi saksi kepergiannya untuk selamanya.