Mohon tunggu...
lady  anggrek
lady anggrek Mohon Tunggu... Wiraswasta - write female health travel

Suka menulis, Jakarta, Blog: amaliacinnamon.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembali Bersemi Resah Berlalu

21 Februari 2019   06:54 Diperbarui: 21 Februari 2019   07:04 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://blog.reservasi.com/

Kedua mata yang kau perlihatkan sungguh tegas. Menjauh dari sikap keras telah kau didik diriku, keponakanmu selama ini. Meski almarhum Ayahku telah di penjara selama bertahun-tahun. Kau tetap berperilaku adil kepadaku. Meski hidup yang engkau jalani selama ini jauh dari keselarasan dalam pernikahan."Ternyata Mama sudah memberi kabar kepada Tante. Kirana minta maaf, belum sempat mempertemukan Keenan dengan keluarga." Kataku karena masih menghormati pemakaman Silvia. Ataukah ragu menyudutkan jiwaku kini?

Tapi aku teringat mereka. Iya, aku masih terbayang-bayang wajah Silvia dan Kejora saat kita tinggal bersama dan bermain akrab di rumah ini. Bahkan kami bertiga lulus dari Universitas Sebelas Maret. Dari Silvia aku bisa mengerti Bahasa Inggris sedangkan Kejora dengan sabar mengajariku menari tarian Jawa. Bahkan kami berdua pernah bercita-cita ingin membuka sanggar tari. Warung makan Shi Jack selalu menjadi tempat pelarian kami.

Namun ada juga kenangan buruk saat aku terbangun di malam hari. Sering terdengar pertengkaran Tante dengan Paman Danu saat ia pulang larut malam. Sama seperti Ibuku berteriak kencang kepada Ayah karena tingkah lakunya yang buruk. Bau alkohol masih menempel pada tubuhnya dan penuh luka-luka. Sering kulihat dari balik kamar mengintip Ibu menangis tersedu-sedu di malam hari. Hingga hari itu Ayah di tangkap polisi dan dimasukkan ke penjara hingga kematiannya tiba. Terpaksa keinginan Kejora pupus di tengah jalan karena keinginanku lebih kuat untuk tinggal bersama Ibu. Serta mencari kerja di sana untuk mereka.

Hingga hari itu aku bertemu dengan Keenan. Dia lulusan Sarjana Hukum di Trisakti. Dia orangnya biasa saja namun ada kesan wibawa  tersimpan darinya. Tubuhnya tinggi dan raut wajahnya lumayan untuk menarik perhatian lawan jenis. Namun bukan itu yang memikat diriku. Ibadahnya rajin yang menjadi poin utama. Kulihat dia sering ke masjid dekat tempatku bekerja. Tak jarang ia berpuasa Senin Kamis. "Berarti kamu juga sudah mengunjungi makam Ayahmu?" Tanya Tante membuyarkan lamunanku. "Iya, Bahkan tahun lalu juga sudah kemari berkunjung ke makam Bapak. Ternyata Kejora memberitahu kemarin malam kalau Silvia telah meninggal. Maafkan aku datang terlambat." Bibirmu terturup rapat selama beberapa saat.

Kau tidak menangis namun kedua mata itu sendu dan kelam. Jauh dari kebahagiaan bersama dirimu saat ini. Perasaan gelisah menerpa jiwaku melihat tubuhnya semakin pilu. "Tante, Jangan kehilangan harapan. Tolonglah, Kirana khawatir kalau Tante nanti akan sakit." Senyum terlintas di wajahmu. Sedikit namun ada rasa lega di hatiku. "Hahh... Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam." Suaramu lirih. Iya, Bahkan hingga detik ini engkau masih memuji segala keagungan-Nya. Yang menjadi sumber bagi semua nikmat dan Dia-lah Dzat Yang Maha Sempurna, terhindar dari segala kekurangan. Meski telah kehilangan anakmu. "Silvia sering pulang malam dari kantor. Namun entah kenapa firasat Tante ada yang tidak enak saat itu. Kelelahan saat bekerja menjadi faktor utamanya. Syukurlah, dia tidak seperti Paman Danu." Ucapnya lagi.

Kedua mataku melihat Foto Silvia saat di wisuda. Kejora dan Tante Mira di sebelah kanan dan kirinya. "Bahkan setiap malam rumah ini tak sepi karena kawan sekantor Silvia masih temani Tante. Tidak disangka, bukan? Anak itu bahkan pada saat kepergiannya masih saja ada yang temani diriku." Ucapnya. Kedua mata berbinar melihat foto anaknya, Silvia. "Ya, Semoga Silvia beristirahat dengan tenang." Kataku lagi. Lalu aku kembali mengenang saat bersama mereka. Kenangan itu hanyalah sebuah pecahan memori tak lepas dari bayang-bayang kelamku.

Bersama mereka menyebut nama keluarga,Sungguh terlalu lama aku dalam kesunyian,

Berhamburan kata-kata sapaan menghangatkan jiwa,Seakan bersemayam sepi di pegunungan.

Jarang melihat cahaya matahari menerpa wajah, Mereka berikan kasih sayang lama tak merasakan, Ada sejarah luka hitam antara kita perih

"Dulu ayahmu pernah berbuat kesalahan sehingga berada di penjara. Berulang kali berbuat tidak pantas sebagai seorang Ayah. Yang jarang mendidik anak-anaknya dengan baik. Bahkan Ibumu sendiri sudah kesulitan membesarkan dua adikmu masih kecil." Ucapmu lagi.  Maka Tante berikan kain batik ini kepadaku. Wajahku tersirat dengan jelas ragu dan bimbang membayangiku. Apakah arti dari balik makna kain tersebut?

"Ah, Itu adalah motif batik Truntum. Truntum merupakan gambaran serupa kuntum. Seperti yang terlihat pada kain tampak motif kembang di langit yang bentuknya digambarkan seperti kembang tanjung." Penjelasanmu menghilangkan bimbang bergejolak kurasakan kini. "Kirana, motif batik ini tentang harapan akan kesetiaan yang harmonis. Kepada untukmu semoga lebih baik dalam menjaga keselarasan dan hubungan pernikahan. Daripada hubungan kedua orangtuamu dan pernikahan Tante." Keenan dan aku, bisikku pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun