Mohon tunggu...
Rindy Dwi Ladista
Rindy Dwi Ladista Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku penikmat rindu, seperti candu, seakan membelenggu,perlahan membunuhku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Penggoda

18 April 2013   22:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada yang tahu bagaimana rasanya mencinta yang seharusnya tak dicinta? Tenggelam dalam buaian sang penggoda.

Matanya lebih teduh dari yang sebelumnya, senyumannya menorehkan getar yang luar biasa. Lalu apa yang harus ku perbuat ketika aku tak berdaya menolak segala pesonanya? Aku terbuai, membiarkan diriku jatuh makin dalam.

Aku menikmatinya.

---------

Mentari kembali ke peraduannya, meninggalkan pemandangan angkasa kala senja. Aku sedang duduk santai di teras rumah, bersandar pada kursi rotan ditemani secangkir teh hangat ketika suara mobil menderu dan berhenti di depan istanaku.

“Ia pulang.” Gumamku dalam hati

Salam terucap dari bibirnya yang tipis dan aku menjawab sekenanya. Lelah nampak jelas di raut wajahnya yang pucat.

“Bagaimana? Apa sudah kau pikir matang-matang? Apa kau takkan menyesal”

“Entahlah.” Ia, suamiku, yang telah hidup satu atap denganku dalam waktu yang panjang, menghujamiku dengan banyak pertanyaan.

“Jangan gegabah, belum tentu yang baru akan lebih menyenangkan.”

“Aku takkan salah pilih, aku menyukainya dari pandangan pertama.”

“Coba ingat-ingat kenangannya, bagaimana melalui hari bersama seperti biasanya.”

Aku tertegun, tak mampu menjawab, pikiranku melayang jauh, aku diam saja. Aku mulai mengingat-ingat bagaimana kali pertama bertemu dengan Mario, meyentuhnya, bagaimana ia menyapaku, sorot mata yang mampu membuat ku terpana.

“Hmmmm...”

Hadphoneku berdering, nampak nama yang membuat mataku berbinar.

“Bagaimana? Sudah kau putuskan Dis?”

“Sepertinya sudah.”

“Lalu?”

“Maafkan aku, tapi aku mencintai Mario, maaf, aku tak bisa melepasnya, sekalipun untuk Mashaka.” Segera ku tutup telepon, kuyakini hatiku untuk tak menyesal.

Kakiku terasa hangat, bulu-bulu halus yang lebat tengah bermain di sana, aku melirik. Tersenyum, kuhadiahi ia dengan sebuah pelukan hangat.

“Oh, sayangku. Tak akan ku lepas engkau, ternyata aku memang begitu mencintaimu. Kau telah menemaniku selama ini, mana boleh aku menukarmu dengan Mashaka, yaah walaupun dia memang lebih manis darimu.”

Tak banyak yang ia ucap, hanya sepotong kata yang membuatku makin cinta: “Meoow.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun