Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Sepele

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Balik Kekerasan atas Nama-Nya

15 Agustus 2013   21:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:16 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keberadaan agama tidak luput dari sejarah kekerasan, keduanya terjalin hubungan secara kontekstual dalam tataran sosio-kultur, politik, dan ekonomi. Semua agama besar telah tercemar dengan kekerasan. Di samping keluarga, institusi agama adalah lembaga tertua kedua yang mengatur perilaku sosial serta sikap personal dengan memberikan pedoman, hukum, dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan interaksi dengan sesamanya dan Tuhannya. Agama memberikan aturan untuk ketertiban sosial dan pemerintahan. Dalam agama, mereka yang gagal untuk mengikuti aturan, hukum, pedoman, dan prinsip-prinsip harus membayar penebusan dosa atau sanksi, atau seluruh masyarakat, bukan hanya individu bisa tertimpa bencana, misalnya dalam kisah Firaun Mesir dilanda tujuh malapetaka karena menolak untuk membiarkan rakyat Israel pergi. Tuhan dihadirkan sebagai tokoh virtual penghukum dalam pola pikir yang fanatik ketika manusia menghadapi bencana. Tsunami di Aceh direspon dengan beragam stigmatisasi dosa-dosa yang disematkan begitu saja kepada rakyat Aceh atau seluruh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, Tuhan bukanlah satu-satunya yang menghukum karena manusia tidak dapat mengkonfirmasikan kepada-Nya. Banyak aliran fundamentalisme agama yang mengajarkan bahwa mereka yang telah secara khusus disebut atau dipilih juga dapat melakukan hukuman atas nama Tuhan. Masalahnya, ada terlalu banyak orang di luar sana yang percaya bahwa mereka terpanggil oleh Tuhan untuk menghukum orang atas nama-Nya. Yigal Amir yang membunuh perdana menteri Israel, menyatakan, "Saya bertindak sendirian dan atas perintah dari Allah". Kerry Noble, seorang aktivis dari Christian Identity, sebuah organisasi yang melawan pemerintah AS, mengutip Keluaran 15:3 secara harfiah dan serius mengatakan, "Tuhan adalah pahlawan perang". Pimpinan Taliban, Adnan Rasheed mengirim surat kepada Malala, dan menyatakan terkait penembakan kepada dirinya,”Benar atau tidaknya tindakan itu, pantas atau tidaknya kamu untuk dibunuh, biarkan Allah yang menilainya”. Pola pikir seperti pimpinan Taliban ini menunjukkan rasionalitas yang dibangun sendiri atau diturunkan dari fanatisme dalam religiositas. Hal yang sama pernah saya tulis dalam artikel “Menalar Terorisme di Indonesia” bahwa ada alasan pembenaran atas tindakan teror yang terlegitimasi oleh keyakinan tertentu. Pola yang sama melatarbelakangi seseorang untuk nekad menjadikan dirinya paket bom bunuh diri. Padahal, mereka tidak tahu dan menyadari bahwa sesungguhnya tindakan-tindakan itu didorong oleh kehendak mereka sendiri, bukan kehendak Tuhan.

Zionis percaya bahwa mereka dapat mempercepat kedatangan Mesias dengan berusaha untuk mendirikan negara Israel dengan metode kekerasan Mosaik. Menurut nubuat agama mereka, Mesias akan tiba di Yerusalem. Karena itu, mereka yang percaya siap merebut Yerusalem dari orang-orang Arab untuk menyambut kedatangan Tuhan mereka. Ini bukan satu-satunya alasan untuk konflik abadi antara Yahudi dan Arab. Pada dasarnya, mereka saling membenci, meskipun mereka diyakini sebagai saudara genetik dari ayah yang sama – Abraham. Bagi mereka, kebencian dibenarkan, bahkan tanpa alasan logis karena kitab suci bersama mereka. Namun, keduanya memiliki alasan yang cukup untuk saling membenci. Pembuangan Abraham dan pencabutan hak waris Ismail sebagai nenek moyang orang Arab, dan pengurapan Ishak sebagai nenek moyang orang Yahudi. Jelas bahwa itu ialah kebencian kuno yang mendorong umat Islam untuk menghancurkan kuil yang paling dihargai orang Yahudi yang dibangun oleh Raja Salomo, dan membangun masjid suci mereka di situs yang sakral.

Agama juga memaafkan kekerasan dalam bentuk pengorbanan manusia. Pengikut agama-agama Abraham percaya bahwa Allah menerima pengorbanan manusia ketika ia meminta Abraham untuk mengorbankan anaknya (meskipun itu hanya ujian iman). Thug, komunitas Hindu yang menyembah Dewi Kali, percaya pada pengorbanan manusia, dan selama 1200 tahun keberadaannya telah lebih dari satu juta korban dianiaya secara kejam dengan menelungkupkan dan mencekik orang-orang tak bersalah yang sedang melintas.

Agama juga menganjurkan kekerasan terhadap kafir atau pemeluk agama lainnya. Ketika Musa mengumpulkan suku-suku Semit bersama-sama, itu adalah perintah religius mereka untuk berperang melawan orang-orang yang tinggal di tempat yang sekarang disebut Palestina, membunuh dan mengambil tanah mereka karena mereka tidak percaya pada Allah dengan menyembah berbagai dewa. Demikian juga, ada teologi yang mengajarkan konversi paksa kafir atau hukuman kepada mereka yang menolak untuk memeluk agama yang sama, seperti kasus yang menimpa kelompok Syiah di Sampang, Madura.

Dari gambaran di atas dapat dilihat kekerasan yang melekat pada agama, dan agama bahkan dalam bentuk yang paling murni, memberikan pembenaran untuk melakukan kekerasan. Namun, ketika variabel sosial dan politik dan nasional lainnya dicampur dengan agama, kekerasan mengasumsikan peran yang lebih besar karena perjuangan bukan hanya untuk mengkonversi atau mengkonfirmasi instruksi ilahi, tetapi juga untuk kebutuhan duniawi dan keinginan seperti keadilan sosial, kesetaraan ras, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, kesejahteraan ekonomi, wilayah geografis, dll. Kebutuhan-kebutuhan duniawi dan keinginan itu adalah masalah bagi pemerintah untuk menangani. Baik di negara yang terlibat kepentingan religiositas maupun negara demokrasi sekuler, tingkat kekerasan yang melibatkan agama berkorelasi langsung dengan tingkat keterlibatan agama tersebut dalam perjuangan sosial, politik, dan kebutuhan nasional. Dengan kata lain, semakin besar ambisi/kepentingan suatu agama oleh para pemeluknya, makin besar pula tingkat kekerasannya.

Filosofi demokrasi sekuler berasal dari filsafat Yunani dan dikembangkan lebih lanjut oleh John Locke dan Jacques Rousseau, memungkinkan untuk kehidupan publik harus terpisah dari agama, yaitu penalaran ilmiah dan klaim moral dari masyarakat sekuler untuk menggantikan teologi dan institusi agama sebagai agen pengaruh yang memberikan identitas sosial. Simbol-simbol demokrasi sekuler yang paling berpengaruh disajikan oleh AS.

Dalam perjuangan mereka untuk kepentingan bangsa, Yahudi dan Palestina memiliki justifikasi teologis yang kuat untuk kekerasan terhadap satu sama lain terkait dengan urusan wilayah. Dua persamaan dapat ditelaah, yaitu:

Agama = Orang = Tanah air = Bangsa, persamaan antara Yahudi dan Palestina.

sedangkan dalam situasi demokratis,
Agama + Orang + Tanah air = Bangsa, persamaan dalam negara sekuler.

Karena mereka berbeda agama dan orang-orang dari bangsa yang berbeda berjuang untuk tanah yang sama, di sinilah letak jantung konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun