Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentafakuri Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat 2 Menit by Mr.K : Membaca Dunia Dengan Tiga Kacamata Filsafat

28 September 2025   18:37 Diperbarui: 28 September 2025   18:37 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca Dunia Dengan Tiga Kacamata Filsafat | Dok. darus.id

# Episode ke-5 : Membaca Dunia dengan Tiga Kacamata Filsafat "Positivisme, Post-Positivisme, dan Interpretivisme"

 

Filsafat Ilmu selalu mencari cara memahami dunia. Ada tiga aliran filsafat yang menjadi fondasi dalam riset dan pemikiran, yaitu; Positivisme, Post-Positivisme, dan Interpretivisme. Namun,di balik rumusan teoritis itu ada pertanyaan sederhana yang tak pernah selesai : bagaimana kita tahu sesuatu itu benar? Pertanyaan yang tampak sepele, tetapi,  jawabannya justru membelah sejarah filsafat menjadi berbagai aliran. Dari yang dingin rasional hingga yang hangat menafsirkan makna.


Ketika Ilmu Mulai Bertanya

Ilmu pengetahuan bukan sekadar kumpulan data dan teori. Ia adalah cermin cara manusia menafsirkan realitas; dari Barat yang rasional hingga Timur yang sarat makna, dari laboratorium eksakta hingga kehidupan sehari-hari. Sejak awal, manusia selalu dihantui satu pertanyaan: bagaimana kita mengetahui kebenaran? Pertanyaan sederhana itu melahirkan aliran-aliran filsafat yang bukan hanya membentuk cara kita berpikir, tetapi juga menentukan bagaimana kita meneliti dunia.

Filsafat ilmu sejak lama menjadi fondasi bagi setiap disiplin pengetahuan. Ia bukan hanya menawarkan metode berpikir, tetapi juga cara menafsirkan realitas. Dalam dunia manajemen, pertanyaan ini terasa sangat nyata. Manajemen sering digambarkan sebagai peta jalan untuk menavigasi bisnis, organisasi, bahkan kehidupan. Namun, tak ada peta yang benar-benar netral; setiap garisnya lahir dari pandangan tertentu.

Tiga aliran besar filsafat memberi kita kacamata berbeda. Positivisme melihat dunia sebagai mesin yang tunduk pada hukum tetap: bisa diukur, diprediksi, dan dikuasai. Post-Positivisme hadir sebagai kritik, mengingatkan bahwa manusia terbatas dalam meraih kebenaran mutlak. Sedangkan Interpretivisme mengajak kita percaya bahwa realitas sosial tak bisa dibekukan menjadi angka belaka; ia adalah ruang makna, penuh tafsir dan pengalaman.

Masing-masing aliran bukan hanya soal teori, tetapi juga metode. Mereka menentukan bagaimana kita mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data, dan menarik kesimpulan. Dari statistik yang dingin hingga kisah yang hidup, dari pengukuran eksakta hingga tafsir mendalam. Ketiganya membentuk wajah ilmu yang kita kenal hari ini.

Tiga jalan, tiga kacamata, namun semuanya bermuara pada satu pencarian yang sama: kebenaran. Dan barangkali, di situlah filsafat ilmu terus berbisik pada kita; bahwa dunia bukan semata-mata apa adanya, melainkan bagaimana kita memilih untuk melihatnya.

 

Menyelami Perspektif Filsuf Barat

Pada abad ke-19, Auguste Comte menggagas Positivisme, ketika sains dianggap satu-satunya jalan menuju kebenaran. Bagi Comte, pengetahuan sejati harus berakar pada fakta yang dapat diukur, diuji, dan dibuktikan. Ilmu harus meniru model sains alam: obyektif, terukur, dan bebas nilai. Realitas dianggap tunggal, bisa dipetakan dengan hukum universal. Dunia, bagi positivis, ibarat mesin yang bekerja dengan hukum tetap.

Namun, manusia terlalu kompleks untuk direduksi menjadi angka semata. Di sinilah Post-Positivisme mengambil tempat. Karl Popper menegaskan: ilmu bukan mencari kebenaran absolut, melainkan kebenaran yang masih bertahan setelah diuji. Teori, bagi Popper, hanyalah hipotesis yang terus digugat lewat falsifikasi. Thomas Kuhn kemudian menambahkan, ilmu tak tumbuh linear, melainkan lewat revolusi paradigma---pergantian lensa yang mengubah cara kita memandang realitas. Dengan begitu, realitas memang ada, tetapi cara kita memahaminya penuh keterbatasan, bias, dan perubahan. Ilmu adalah proses koreksi tanpa henti.

Sementara itu, Wilhelm Dilthey dan Max Weber membuka jalan bagi Interpretivisme. Mereka melihat dunia sosial bukan sekadar objek, melainkan ruang makna. Realitas sosial dibentuk oleh bahasa, budaya, dan interaksi manusia. Fakta sosial bukan hanya angka, melainkan tafsir yang diciptakan manusia. Di sini, peneliti lebih mirip penafsir ketimbang pengukur: berusaha memahami "mengapa" dan "bagaimana", mencari makna di balik tindakan, budaya, dan sejarah.

Akhirnya, ketiga aliran ini tidak harus saling meniadakan. Positivisme memberi fondasi ketertiban, Post-Positivisme mengingatkan keterbatasan, dan Interpretivisme membuka ruang makna. Bersama-sama, mereka ibarat kompas: bukan hanya menunjukkan arah, tetapi juga mengajarkan cara berjalan dengan sadar---bahwa ilmu, pada akhirnya, adalah perjalanan manusia membaca dirinya sendiri.

Menyelami Perspektif Filsuf Timur/Islam

Dalam khazanah filsafat Timur dan Islam, ilmu tidak pernah berdiri sendiri. Ia bukan sekadar tumpukan data atau tafsir, melainkan jalan menuju hikmah---kebijaksanaan yang membimbing manusia. Ilmu selalu terikat dengan nilai, moral, dan tujuan akhir kehidupan. Di sini, filsafat manajemen dipandang bukan hanya sebagai alat, melainkan amanah.

Al-Qur'an menegaskan manusia sebagai khalifah di bumi. Artinya, ilmu dan manajemen tak boleh berhenti pada efektivitas teknis, tetapi harus menuntun pada keberlanjutan, keadilan, dan kemaslahatan. Bila positivisme berbicara tentang hukum, interpretivisme tentang makna, dan kritisisme tentang perubahan, maka Islam menambahkan dimensi transendensi: semua pengetahuan bermuara pada Tuhan, dan setiap praktik berorientasi pada nilai moral serta tanggung jawab sosial.

Al-Ghazali mengingatkan bahwa pengetahuan sejati lahir ketika akal bertemu dengan cahaya hati. Sekadar mengetahui teori tanpa kesadaran spiritual hanyalah serpihan informasi yang kering. Ia menegaskan: "Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan." Pengetahuan sejati bukan hanya mengetahui apa yang benar, melainkan melakukan apa yang baik.

Ibn Sina menambahkan nuansa lain. Ia melihat akal sebagai instrumen utama pengetahuan, tetapi tetap menempatkan wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi. Baginya, rasio dan spiritualitas bukanlah musuh, melainkan pasangan yang saling melengkapi. Karena itu, penelitian tidak sekadar menguji hipotesis, tetapi juga bagian dari perjalanan spiritual menuju kebenaran.

Al-Farabi melangkah dengan penekanan pada harmoni akal dan jiwa. Ilmu, baginya, harus membimbing manusia menuju kebajikan dan tatanan sosial yang adil. Pengetahuan yang hanya mengukur tanpa menuntun pada moral adalah pengetahuan yang pincang. Dari sinilah lahir pandangan bahwa etika tak bisa dilepaskan dari metode.

Ibn Khaldun, dengan Muqaddimah-nya, menegaskan dimensi sosial dalam ilmu. Realitas sosial tidak bisa dipahami hanya dengan angka, tetapi harus dibaca melalui sejarah, budaya, dan nilai yang melingkupinya. Fakta sosial selalu berakar pada konteks zamannya. Data tanpa narasi hanyalah cangkang kosong.

Dari semua itu, kita menemukan benang merah: dalam filsafat Islam, ilmu bukan tujuan akhir, melainkan jalan yang menuntun manusia menuju kebijaksanaan. Bukan pengetahuan yang berhenti di kepala, tetapi kesadaran yang mengakar di hati, beresonansi dalam perilaku, dan menyatu dengan kehidupan.

Ibn Dina Filsuf dan Ilmuwan Terkemuka Dunia Islam | Dok. Tehran Times
Ibn Dina Filsuf dan Ilmuwan Terkemuka Dunia Islam | Dok. Tehran Times

 

Refleksi Hidup Praktis, Gaya Mr.K

Pada akhirnya, filsafat ilmu manajemen bukan sekadar kerangka akademik. Ia adalah cara kita menjalani hidup. Ada saatnya kita berpikir seperti seorang positivis---menghitung, mengukur, dan merencanakan langkah dengan presisi. Di saat lain, kita perlu menjadi post-positivis---sadar bahwa kebenaran mutlak sulit digenggam, terbuka pada kritik, dan rela mengoreksi diri ketika kenyataan berubah. Lalu, kita pun perlu menjadi interpretivis---mendengar, memahami, dan menafsirkan kisah manusia yang tak pernah tercatat dalam grafik. Dan pada titik tertentu, kita mesti bersikap kritis---menggugat sistem yang timpang, menolak kenyamanan yang menindas, serta menyuarakan perubahan.

Namun, hikmah Timur dan Islam mengingatkan kita: semua itu hanyalah jalan, bukan tujuan. Ujung perjalanan adalah kebijaksanaan. Manajemen bukan hanya soal efisiensi atau strategi, melainkan tentang bagaimana kita memaknai tanggung jawab, menjaga keseimbangan, dan membawa manfaat bagi sesama serta alam semesta.

Membaca dunia dengan tiga kacamata filsafat, lalu menambahkan cahaya nilai dan nurani, membuat kita sadar: hidup bukan sekadar angka, bukan sekadar tafsir, bukan sekadar perjuangan. Hidup adalah ruang tempat ilmu bertemu dengan moral, di mana strategi berpadu dengan empati, dan di mana keputusan tak hanya tentang benar atau salah, melainkan tentang baik dan bijaksana.

Dan pada titik itu, filsafat berhenti menjadi teori. Ia menjelma menjadi jalan pulang---menuju diri kita yang paling manusiawi.


Ilmu, Jalan Pulang ke Kemanusiaan

Dari positivisme yang mengukur, post-positivisme yang meragukan, hingga interpretivisme yang menafsirkan---semua akhirnya menuntun kita pada satu hal: kebijaksanaan.

Ilmu tidak pernah berhenti pada angka, teori, atau tafsir. Ia adalah perjalanan, sebuah kompas yang menunjuk ke arah pulang: kembali pada diri manusia yang sejati. Positivisme mengajarkan ketertiban, post-positivisme menanamkan kerendahan hati dalam meragukan, dan interpretivisme membuka ruang makna di balik setiap cerita. Namun, semua itu hanyalah jembatan.

Hikmah Timur dan Islam menambahkan cahaya lain: ilmu bukan hanya milik pikiran, tetapi juga milik hati. Manajemen, pada akhirnya, bukan sekadar strategi menguasai dunia, melainkan seni menjaga keseimbangan, menunaikan tanggung jawab, dan menebar kebermanfaatan.

Maka ketika filsafat berhenti menjadi jargon, ia menjelma menjadi laku. Ketika ilmu tidak lagi berdiri di menara gading, ia turun ke jalan, menyapa manusia, dan mengajarkan kita cara hidup yang lebih bijaksana.

Dan pada titik itulah, kita menemukan bahwa ilmu sejati adalah jalan pulang---menuju kemanusiaan yang utuh, penuh empati, dan sarat tanggung jawab.

Bacaan Lebih Lanjut :

  1. Auguste Comte -- The Course of Positive Philosophy (1842)
  2. Karl Popper -- The Logic of Scientific Discovery (1959)
  3. Thomas S. Kuhn -- The Structure of Scientific Revolutions (1962)
  4. Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. -- Naturalistic Inquiry (1985)
  5. Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. -- Handbook of Qualitative Research (1994)
  6. Creswell, J.W. -- Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches

Jkt/28092025/Ksw/159

Mr.K (Kusworo): Praktisi manajemen, penulis perjalanan, dan peziarah gagasan. Kini menempuh Program Doktor Manajemen Berkelanjutan di Perbanas Institute, sambil membumikan filsafat agar mudah dipahami dalam dua menit.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun