Tebing-tebing curam setinggi 1.000 hingga 1.800 meter berdiri kokoh, mengapit perjalanan kami dalam pelayaran dari Gudvangen ke Flam. Gunung Bakkanosi menjulang bagai penjaga purba, menatap kami yang mengarungi jejak alam liar Norwegia. Dari ketinggian yang tak tergapai, air terjun Sagfossen mencurahkan beningnya air seperti melodi yang menyelinap di antara keheningan fjord.
Desa-desa terpencil seperti Undredal muncul bak dongeng Nordik yang hidup. Sunyi, mungil, namun penuh daya pikat. Cruise kami pun kerap melintasi celah sempit fjord yang tenang namun dalam. Di antara dinding alam itu, bila beruntung, seekor anjing laut muncul sesaat, atau elang Norwegia melayang gagah, memberi tanda bahwa kita tengah berada di salah satu tempat paling spektakular di bumi.
Pagi yang cerah menyambut kami di Myrkdalen. Sebuah desa kecil di pelukan Norwegia yang seakan baru saja bangun dari mimpi panjang musim dingin.
Udara segar, cahaya matahari yang lembut, dan hamparan hijau di kejauhan memberi semangat baru untuk melanjutkan petualangan kami di negeri para fjord.
Norwegia bukan sekadar indah, ia seperti puisi yang ditulis oleh alam dan dijaga dengan sepenuh hati oleh manusia yang mencintainya.
Di sini, keberlanjutan (sustainability) bukan jargon kebijakan. Ia telah menjadi napas kehidupan, warisan yang disiapkan dengan penuh kesadaran untuk generasi setelahnya.
Perjalanan menuju Gudvangen dari hotel kami di Myrkdalen berlangsung selama satu jam. Namun waktu seolah menguap dibelai angin pagi dan lanskap pegunungan yang berbisik lewat jendela bus.
Jalanan mulus membelah lembah hijau, dan mata kami terus disuguhi simfoni visual: danau yang tenang, bukit yang berselimut kabut tipis, dan rumah-rumah kayu yang berdiri anggun di tepian hutan pinus.
Detik-detik tak lagi dihitung oleh jam, melainkan oleh kekaguman yang bertubi-tubi. Tanpa terasa, kami pun tiba di Gudvangen, gerbang menuju keajaiban yang bernama Naeroyfjord.