Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Sebuah Buku Semestinya Menjadi Kapak"

8 Januari 2018   14:35 Diperbarui: 9 Januari 2018   04:35 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Launching perpustakaan Eklesia, 4 Januari 2017 jam 10.00. Diawali dengan doa oleh Ibu Pendeta Novarita. Turut hadir dalam momentum tersebut Pak Asa Wahyu Setyawan Muchtar, Ketua 1 Eklesia Prodaksen, Pak Suwaji, Ibu Sulikah Drawi, Ibu Pendeta Novarita. Dokumentasi Perpustakaan Eklesia, Kebonagung.

SEJAK empat tahun silam, tepatnya di Januari 2014, saya menetap di Desa Kebonagung. Salah satu tempat yang saya cari adalah perpustakaan. Berdasarkan informasi dari salah seorang pengelola perpustakaan desa yang juga warga RW 1, saya menuju ke perpustakaan Desa Kebonagung. Tempatnya ada di lingkungan kantor Desa Kebonagung. Penataan buku-bukunya sederhana namun rapi. Yang saya ingat ada tulisan dari print-printan komputer tertempel di dinding perpus. Quote dari Franz Kafka (1883-1924), "Sebuah buku semestinya menjadi kapak bagi laut beku di dalam diri kita.". 

Saya kagum bagaimana seorang seorang penulis kelahiran Praha, Ceko, 'kata mutiaranya' terpasang pada dinding perpustakaan Desa Kebonagung, dimana saya menetap sekarang. Saya pernah membaca buku Metamorfosis, terjemahan cerpen-cerpen Franz Kafka, diterbitkan Yayasan Bentang Budaya, Jogja, 2001. Cerpen Metamorfosis, seingat saya, berkisah tentang sosok Gregor Samsa, salesman, saat bangun tidur tubuhnya "bermetamorfosis" menjadi seekor kecoa raksasa.

 Pendulum Max Arifin (1936-2007)

Entah kenapa setiap pemikiran terkait perpustakaan, ingatan saya selalu terkonek pada sosok Max Arifin (1936-2007). Beliau sahabat kami berdua. Saya dan istri terkasih, Novarita. Di Mojokerto, Pak Max tinggal bersama istri, Bu Siti Hadidjah. Menikmati hari-hari selepas pensiun dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram.Sebelum menetap di Mojokerto, Pak Max tinggal di Sepanjang Sidoarjo. Saat di Sepanjang, Pak Max Arifin menerjemahkan novel One Hundred Years of Solitude, Gabriel Garcia Marquez (1927-2017)

Suatu hari saya dan beberapa sahabat diundang Pak Max ke rumah beliau. Saya, Novarita, Saiful Bakri, Rony Younard, Arif Budi Santono, Hisyam Mawardie segera berkumpul.Hari itu, Pak Max menghibahkan duaratusan buku dan majalah koleksinya kepada kami. Surprise. Buku-buku sastra dan seni budaya kami angkut dengan becak menuju rumah Arif di Jalan Empunala Kota Mojokerto. Kami memberi nama Balai Pustaka NOL. Diresmikan 27 Februari 2000.Bersamaan juga diresmikan Balai Pustaka Marsinah yang dikelola Saiful Bakri.

Pak Max adalah seorang yang disiplin dan ketat dalam menata koleksi buku-buku di perpus pribadinya. Pernah suatu hari Boy, salah seorang cucu kesayangan menginap di rumah beliau, membaca buku lalu mengembalikan buku ke rak buku. Esok pagi, Pak Max mengetahui ada buku yang belum rapi berjajar di rak bukunya, maka Boy dipanggil dan mendapat tugas merapikan buku sesuai kondisi semula. 

Jika Pak Max sangat disiplin dalam memperlakukan buku-buku koleksinya, kenapa beliau menghadiahkan seratusan buku sastra dan seni budaya dan majalah kepada kami? Pak Max Arifin sepertinya berharap kami lebih tekun membaca dan menulis. Ya, waktu itu memang belum 'booming' dengan jargon-jargon dan kampanye semacam 'menumbuhkan literasi'. Dan waktupun berjalan tanpa menunggu siapapun. (Queen). 

Bapak dan Ibu Max Arifin. Dokumentasi Novarita.
Bapak dan Ibu Max Arifin. Dokumentasi Novarita.
Kebonagung Anno 2017

EMPAT tahun lalu, ingatan kami kepada Pak dan Bu  Max Arifin semakin menguat. Kami merasakan menjadi  "Max Arifin dan Siti Hadidjah yang lain". Budi baik Bapak dan Ibu Max Arifin saat menghibahkan buku-buku kepada kami di Mojokerto 'menjadi pendulum' bagi kami untuk melakukan hal serupa di Kebonagung.

Benih-benih kebaikan yang ditanam Bapak dan Ibu Max Arifin di Mojokerto, kinipun berbuah di Kebonagung. Menabur benih dan menuai hasilnya dibutuhkan waktu tujuh belas tahun. Kamipun bersepakat memilih buku, majalah, jurnal yang ada di pastori untuk koleksi perpustakaan Eklesia. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. 

Jumlah koleksi awal buku-buku yang kami kumpulkan sekitar duaratusan judul. Kami gabungkan dengan koleksi perpustakaan GKI Kebonagung yang sudah ada sebelumnya, khususnya Komisi Anak dan Komisi Pemuda Remaja. Perpustakaan berada di Graha Eklesia Jl. Raya 15  RT 22 RW 4 Desa Kebonagung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Malang 65161. Rak yang semula untuk warung nasi liwet kami pakai. Juga lemari kaca yang biasa untuk menyimpan kostum, baju, inventaris gereja, kini untuk tempat buku-buku. 

Satu rak kayu yang ada di Ruang Komisi di seberang Graha Eklesia, kami angkut untuk menyimpan buku-buku. Kawan-kawan pengurus Eklesia Prodaksen banyak membantu dalam pengelolaan perpustakaan. Pak Suwaji, Pak Wawan, Bu Sulikah, Yusuf Calvin Wicaksono, Daniel Kristanto, Rivaldi Anjar Saputra, Rendy Kurniawan, dkk. Kami semuanya volunteer. Untuk sederhananya kami memberi nama Perpustakaan Eklesia Prodaksen, dibawah naungan Eklesia Prodaksen, sebuah Badan Usaha Milik Gereja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun