Mohon tunggu...
Kupret El-kazhiem
Kupret El-kazhiem Mohon Tunggu... -

Pelarian, Pengangguran, Soliter, Serabutan, Penduduk Bumi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsekuensi Ahok Tidak Cuti, Tidak Boleh Kampanye, Bagaimana dengan Relawannya?

27 September 2016   15:22 Diperbarui: 27 September 2016   15:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: politik.news.viva.co.id

Berulang kali dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi tentang cuti petahana, Ahok mengungkapkan bahwa calon petahana boleh untuk tidak cuti dengan konsekuensi tidak melakukan kampanye. Tapi dalam kasus Ahok sebagai Gubernur DKI, selama ini dia hanya bekerja saja. Bahkan, bisa dikatakan bahwa cara dia bekerja itu-lah cara dia berkampanye. Dengan mengunggah video rapat, pidato, talk show, dll ke media sosial, bukankah itu sama saja dengan kampanye walau tidak menggunakan nomenklatur kampanye?

Kemudian selain cara kerja Ahok yang transparan dan blak-blakan sehingga publik Jakarta dan Indonesia mengetahuinya, sepanjang hampir lima tahun ini, media massa selalu memberitakannya. Ingat, bahwa kampanye (campaign) ada yang positive campaign, ada pula negative campaign. Keduanya dibenarkan dalam suatu kompetisi politik asal bukan black campaign. Selama ini media massa terus-menerus mengabarkan tentang Ahok, baik yang memuji kebijakannya, mengkritik, ataupun menyorot kasus-kasus yang menyentuh dirinya. Bahkan diliput juga ucapan lawan-lawan politik yang menjatuhkan dirinya, seperti saat perkara 'bahasa toilet' itu.

Selanjutnya ada juga yang disebut relawan. Mereka ibarat fanboy/fangirl artis-artis K-Pop yang selama nyaris usai periode pertama Ahok ini selalu membantu gembar-gembor tentang Ahok, menangkis serangan orang-orang yang menjelekkan Ahok, dan juga berinisiatif mendukung Ahok meneruskan dua periode.

Bagaimana jika Ahok diperbolehkan untuk tidak cuti dengan konsekuensi tidak boleh berkampanye? Jelas sekali kalau media massa tidak mungkin berhenti mengabarkan tentang Ahok. Tugasnya media massa ya mengabarkan apa saja. Bagaimana dengan tim sukses dari partai politik? Mungkin di panggung depan, mereka akan mematuhi, lantas kalau di panggung belakang?

Bisa juga diam-diam mereka menggunakan kelas menengah 'ngehek' sebagai yang disebut swing voters dan silent majority untuk bergerilya di internet. Sudah jamak diketahui bahwa belakangan ini muncul portal-portal media massa dan jurnalisme warga yang sangat jelas-jelas mendukung figur politisi atau partai politik tertentu. Belum lagi dengan permainan sharing article di social media guna meningkatkan traffic search engine. Termasuk portal-portal yang ingin menjatuhkan aktor politik dan figur publik juga menggunakan segalam macam teknik Search Engine Optimizer (SEO) agar tulisan mereka banyak dibaca publik.

Kembali ke soal konsekuensi di atas, jika memang Ahok harus tidak berkampanye, apakah putusan itu harus ditaati pula oleh relawan? Banyak aktor politik yang bersembunyi di balik kata 'relawan'. Apakah relawan yang mendukung politisi adalah benar karena dorongan dan ketulusan masing-masing personalnya? Tidak ada yang sedang cari makan di sana? Zaman serba simulacra seperti saat ini kok masih berucap 'ikhlas' demi kata-kata klise semacam 'keadilan', 'kesejahteraan', 'kebaikan', dll. Semuanya adalah ekonomi pertukaran, dan politik esensinya sebagaimana telah diketahui orang-orang, 'hanya kepentingan-lah yang abadi'.

Contoh, Ketika masa pemilu, para politisi dan fanboy/girl-nya membuat program-program yang berembel 'menyejahterakan' rakyat. Kita layak tertawa dan berkata, "sebelumnya ke mana saja, bro sis? Ngumpet semua?" Sejahtera buat mereka, tapi buat masyarakat cuma hore hura.  Dalam kondisi masyarakat yang demam keriuhan dan eforia, 5 tahun digunakan hanya untuk koar-koar di social media menjagokan figur-figur politisi. Ketika pemilu sudah kayak mengultuskan nabi-nabi. Daripada hantam sana, balas sini. Lebih baik buktikan saja di bilik suara. Yang jadi tim kampanye juga sudah ada orang-orangnya. Tapi lagi-lagi, kita suka jadi tim hore dan tim hura. Kapan ya peristiwa politik di negeri ini tidak lagi dianggap 'pesta demokrasi'? Kapan ya menjadi sebiasa datang untuk makan di warung nasi atau ke jamban buang kotoran? Sunyi senyap. Hanya plung, crot, cret, pret di bilik-bilik bisu, tuli, nan buta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun