Di tengah situasi ini, pemerintah justru mengumumkan efisiensi APBN hingga Rp 306 triliun. Kementerian dan lembaga dipaksa mengencangkan ikat pinggang, termasuk sektor penting seperti perlindungan korban (LPSK) yang anggarannya dipangkas hingga 62%. Kementerian Perindustrian juga terkena dampak, dengan anggaran yang dipotong lebih dari 40%.Â
Di satu sisi, pemerintah mengklaim efisiensi ini untuk memangkas pemborosan. Tapi di sisi lain, publik mempertanyakan: kenapa belanja sosial dan subsidi dipangkas, sementara proyek-proyek besar seperti pembangunan IKN dan peluncuran Danantara tetap digenjot?
Data ekonomi nasional juga tidak memberi banyak harapan. Sepanjang 2024, Indonesia mencatat inflasi tahunan terendah dalam sejarah, hanya 1,57%. Di satu sisi ini mencerminkan stabilitas harga. Tapi para ekonom melihat ini sebagai cermin dari lemahnya permintaan domestik dan penurunan daya beli. Konsumsi rumah tangga, yang menjadi motor PDB Indonesia, melambat. Indeks keyakinan konsumen menurun. Bahkan, jumlah rumah tangga kelas menengah mulai menyusut.
UMKM, yang selama ini menjadi penopang 60% PDB dan menyerap lebih dari 90% tenaga kerja, juga stagnan. INDEF mencatat gap pembiayaan UMKM masih sangat besar, dan target digitalisasi UMKM belum mencapai separuh dari rencana. Kredit untuk sektor UMKM mandek di angka 18-20% dari total kredit nasional. Ini bukan angka yang menunjukkan ekspansi, tapi sekadar bertahan.
Jika kita tarik garis merah, ada yang tidak sinkron. Di satu sisi, negara membangun kendaraan investasi raksasa untuk masa depan. Tapi di sisi lain, rakyat hari ini sedang kehabisan tenaga untuk bertahan. Seperti membangun gedung pencakar langit, tapi membiarkan fondasinya keropos. Kita tentu butuh visi jangka panjang, tapi jangan abaikan kebutuhan hari ini.
China menjadi besar bukan karena liberalisasi total, tapi karena proteksi dan dukungan besar terhadap industrinya. Mereka menumbuhkan pabrik-pabriknya sendiri, menyiapkan tenaga kerja terlatih, dan secara disiplin membatasi dominasi asing hingga industrinya kuat. Kini mereka mengekspor ke seluruh dunia. Bukankah kita juga ingin seperti itu? Tapi kenapa justru kita melepaskan perlindungan yang masih rapuh ini terlalu dini?
Kita sedang berada di persimpangan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan 8% dan bonus demografi 2045. Tapi kalau tidak ada pancingan nyata untuk menggerakkan ekonomi rakyat, maka mimpi itu hanya akan jadi poster di dinding. Rakyat tidak butuh wacana besar yang jauh di awang-awang. Mereka butuh bukti bahwa negara hadir dan berpihak, terutama ketika ekonomi sedang lesu.
Jika hari ini rakyat tidak diberi ruang untuk bertahan, siapa yang akan menyambut masa depan yang dijanjikan?
Indonesia tidak kekurangan orang hebat. Yang kita butuhkan adalah arah yang benar, dan keberanian untuk berpihak. Danantara boleh dibangun. Tapi jangan biarkan itu menjadi monumen baru yang berdiri megah di atas reruntuhan ekonomi rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI