Keberadaan klenteng ini memunjukkan bahwa kehidupan warga di Jogja sebagai Multikultur dan merupakan bagian dari sejarah Yogyakarta.
Bangunan klenteng hampir 100% masih dari kayu dan lengkap fasilitasnya untuk beribadah bagi warga keturunan Tionghoa serta terawat dengan baik.
Beberapa ruangan untuk berdoa :
Hal yang menarik yaitu bisa langsung bertemu dengan pengelola klenteng sehingga bisa mendapatkan info atau bisa bertanya tentang klenteng maupun ramalan shio masing2 pengunjung, klenteng baru dipersiapkan untuk menghadapi perayaan Tahun Baru Imlek.
Klenteng terbuka untuk umum (pas tidak ada acara ibadah khusus), halaman depan pada saat hari libur pagi digunakan untuk senam taichi, sedangkan pada hari tidak libur digunakan untuk parkir warga yang berbelanja di Pasar Kranggan.
PASAR KRANGGAN
Kata "Kranggan" berasal dari nama salah satu pejabat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa Hindia Belanda, yakni Raden Tumenggung Rangga Prawirasantika. Ia menginisiasi berdirinya pasar ini, sehingga namanya digunakan, yakni dari kataÂ
Keberadaan pasar ini sebenarnya telah terdeteksi pada abad ke-19, dimana pasar ini diperuntukkan bagi etnis Tionghoa di Yogyakarta. Wijkensteelsel, Peraturan pemerintah Hindia Belanda yang mengatur tata ruang kota membagi wilayah etnis Tionghoa berada di Kampung Ketandan dan Poncowinatan (belakang pasar Kranggan saat ini).