Disclaimer : Sebuah ulasan panjang, jangan lelah menyelesaikannya.
Beberapa kawan memintaku untuk menulis seputar parenting, belum kuiyakan karena alasannya murni kehati-hatian. Banyak referensi yang perlu dipelajari dan tentunya pengalaman yang belum seberapa sebagai bumbu tambahannya.
Tulisan ini hanya melihat fenomenanya secara luas, kegundahan umum dan tidak terlalu teknis, karena pendeknya wawasanku. Tentu niat menulis topik ini akan terus kutabung, hanya menunggu momen yang tepat saja. Toh, dalam hidup ini, tidak semua harus ditulis. Beberapa hal cukup dijalani, dimaafkan, diambil pelajaran lalu diceritakan pelan-pelan.Â
Singkatnya, orang tua itu seperti spidol permanen di papan tulis kehidupan anaknya. Sayangnya, kadang kita menulis dengan tangan yang tidak dominan. Jadi, selamat membaca.
Membangun Keluarga yang Hangat di Dunia yang Dingin
Di tengah hiruk-pikuk abad ke-21, di mana notifikasi ponsel lebih bertenaga daripada bisikan hati nurani, kita, para orang tua modern, terjebak dalam teka-teki kuno yang dikemas ulang: "Antara Membesarkan dan Menghidupi: Pertarungan Sunyi Para Orang Tua."Â
Frasa "Anak-anak tidak hanya butuh biaya hidup, mereka juga butuh orang tua yang hadir dalam hidupnya" bukan sekadar kalimat mutiara, melainkan palu godam yang menghantam kesadaran kita yang sering terlelap dalam ilusi kesibukan.
Bayangkan, dua peran yang mestinya sepasang kekasih abadi---menjadi pencari nafkah dan menjadi orang tua yang hadir---kini justru bersaing layaknya dua kubu politik menjelang pemilu, saling menggusur, saling mengklaim terpenting.
Maka tak heran jika banyak anak tumbuh dengan fasilitas sekelas hotel bintang lima, namun hatinya hampa, seperti taman bermain yang megah tapi tak pernah ada anak yang tertawa di sana.
Kita dibesarkan oleh mantra-mantra usang, diukir di batu nisan tradisi, bahwa "tugas ayah adalah mencari nafkah" dan "ibu yang baik adalah yang terus bekerja demi masa depan anak." Sebuah dogma yang menghamba pada angka-angka, seolah nilai seseorang diukur dari saldo rekening.
Tapi siapa yang berani mengajarkan, atau lebih tepatnya, siapa yang berani menantang hegemoni kapitalisme ini, bahwa kadang anak lebih merindukan pelukan hangat daripada ponsel terbaru yang bisa menyala dalam air?