Sore menyapa dengan kehangatan yang tanggung, seperti pelukan ibu yang tak ingin anaknya terlalu cepat dewasa. Di teras depan ini, dengan secangkir teh yang uapnya menari-nari malas, pikiran saya, ah, pikiran ini memang seringkali seperti lalat yang hinggap sembarangan, kali ini tertarik pada pemandangan yang begitu lumrah:
Kita semua yang sibuk. Sibuk sekali. Lebih sibuk dari semut yang menggotong remah roti sebesar badannya.
Lihatlah, dari bangun tidur yang terburu-buru, mencium anak sambil lalu, menerjang kemacetan yang sudah seperti sahabat karib, hingga tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang menggunung. Kita semua seperti pelari maraton yang lupa garis finishnya di mana. Kita terus memacu diri, didorong oleh bisikan-bisikan tak kasat mata tentang target, tentang pencapaian, tentang "harus lebih baik dari kemarin".
Di jalanan, klakson mobil berbunyi seperti orkestra kegelisahan. Tatapan mata para pengendara penuh dengan urgensi, seolah satu detik keterlambatan akan meruntuhkan sendi-sendi kehidupan. Di kantor, kita berlomba meraih promosi, mengumpulkan pundi-pundi, membangun citra diri yang sempurna di mata atasan dan kolega.
Malam pun tiba, bukan untuk beristirahat dengan tenang, melainkan untuk menatap layar gawai, mencari pelipur lara yang dangkal sebelum akhirnya terlelap dengan mimpi-mimpi tentang esok yang lebih melelahkan. Dan siklus ini terus berulang, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun.
Pernahkah kita berhenti sejenak, seperti seorang musafir yang kehausan di tengah gurun, dan bertanya pada diri sendiri: kemana sebenarnya arah langkah kita ini? Apa gerangan yang kita kejar dengan napas terengah-engah ini? Apakah kita benar-benar tahu rupa dari "sesuatu" yang kita perjuangkan mati-matian itu? Atau jangan-jangan, kita hanya ikut arus, terbawa oleh riuhnya orang-orang di sekitar kita, tanpa sempat merumuskan tujuan yang sungguh-sungguh milik kita?
Realita yang kita saksikan sehari-hari adalah sebuah ironi yang getir. Kita membangun rumah-rumah megah, namun kehangatan di dalamnya seringkali terasa hilang. Kita mengumpulkan harta benda berlimpah, namun waktu untuk menikmati kebersamaan dengan orang-orang tercinta terasa begitu terbatas. Kita mengejar pengakuan dari dunia luar, namun suara hati kita sendiri justru makin tenggelam.
Seperti kata orang bijak yang entah siapa, hidup ini bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi tentang ke mana arah yang kita tuju. Kita bisa saja menjadi pelari tercepat di dunia, namun jika kita berlari ke arah yang salah, bukankah semua kerja keras itu menjadi sia-sia?
Maka, mari kita coba untuk sesekali menarik diri dari hiruk pikuk ini. Duduklah sejenak, hirup udara senja yang mulai dingin, dan dengarkan bisikan angin yang membawa cerita tentang kesederhanaan.
Mungkin, di tengah keriuhan dunia yang serba kompetitif ini, kita perlu belajar kembali tentang arti "cukup". Cukup untuk hari ini, cukup untuk keluarga, cukup untuk diri sendiri.
Sebab, kebahagiaan seringkali bersembunyi dalam percakapan yang hangat, dalam sentuhan yang tulus, dan dalam kesediaan kita untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen kehidupan. Mungkin, sudah saatnya kita berhenti berlari tanpa arah, dan mulai berjalan dengan penuh kesadaran, menuju kebahagiaan yang sesungguhnya. Wallahu A'lam Bishawab. (Kkh)