Mohon tunggu...
Kurnia Trisno Yudhonegoro
Kurnia Trisno Yudhonegoro Mohon Tunggu... Administrasi - Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melihat Kemungkinan Serangan Militer Asing ke Indonesia

28 April 2020   09:12 Diperbarui: 30 April 2020   08:32 4976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi dan diambil dari DoD photo by Pfc. Andre Forrest, U.S. Army/Released (Wikipedia)

Perang adalah kelanjutan dari politik (kebijakan) -- Carl von Clausewitz

Perang merupakan suatu hal yang sangat manusiawi. Praktis hampir tidak ada tahun berlalu tanpa ada suatu perang terjadi di salah satu pojok dunia. Manusia telah berperang menggunakan berbagai alasan, dari mulai atas nama Tuhan hingga mencari barang jarahan. Dari berperang demi satu suku/etnis tertentu hingga berperang atas nama kemanusiaan.

Sebuah pertanyaan yang mungkin terbetik di benak pembaca yang Budiman, Mungkinkah ada serangan militer Asing ke Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bisa mencoba berkaca pada kejadian di masa lampau.

Latar belakang

Berperang bukanlah hal yang mudah dan murah. Ketika suatu entitas memutuskan untuk berperang, biasanya hal itu dilakukan sebagai upaya paripurna ketika semua upaya telah gagal dilakukan. Dan tentunya ada sesuatu yang dijadikan tujuan.

Perang Vietnam (1966-1973), bagi Amerika Serikat adalah upaya membendung komunisme, bagi Vietnam merupakan upaya penyatuan.

Kemudian perang Afghanistan (1979) bagi Uni Soviet adalah untuk mempertahankan pemerintahan pro-komunis, bagi kaum mujahidin adalah perang suci melawan ateisme komunis, bagi Amerika Serikat merupakan kesempatan untuk mengikis kemampuan Soviet.

Pada masa yang lebih lampau lagi, kita tahu bagaimana negara-negara eropa ramai-ramai menyerbu belahan dunia lain untuk mendapatkan rempah-rempah, pasar, dan sumber energi.

Indonesia sendiri turut merasakan di serbu oleh Belanda, Portugis, Spanyol dan Inggris demi pala, lada, kapulaga, kayu manis, timah.

Selanjutnya Jepang ikut menghantam Indonesia demi mendapatkan pasokan minyak bumi. Selain itu, negara-negara eropa juga turut menguasai beberapa wilayah Indonesia demi mengamankan jalur laut mereka.

Bila kita menilik kondisi saat ini, maka ekspor utama Indonesia antara lain batu bara, LPG, LNG, Minyak Sawit, Karet dan beberapa hasil tambang lainnya seperti nikel, perunggu dan emas.

Di sisi lain, posisi beberapa wilayah Indonesia yang mengapit selat malaka menjadikannya posisi yang sangat strategis sebagai chokepoint (titik sumbat) perdagangan dunia. 

Dimana 33% perdagangan barang dunia melalui selat ini selanjutnya 400 jalur laut dan sekurangnya 700 pelabuhan di dunia juga menggunakan selat Malaka sebagai titik transit menurut peneliti dari National University of Singapore.

Selain itu, berapa alur laut Indonesia juga menjadi jalur alternatif pengiriman gas dan minyak bumi, terutama untuk tanker ukuran VLCC yang terlalu besar untuk secara aman melewati selat malaka.

Sekarang kita paham bahwa Indonesia memiliki dua hal yang bisa dikatakan layak menjadi alasan untuk perang, yaitu akses dan bahan mentah.

Kemudian mari kita lihat beberapa titik letup (flashpoint) yang kemungkinan menjadi masalah di masa depan di daerah sekitar negara kita.

Titik Letup (Flashpoint) di Asia Pasifik

Menurut salah seorang guru besar studi pertahanan strategis di Australian National University, terdapat 4 titik letup yang potensial meletup di Asia Pasifik, berturut-turut dari tingkat keparahan tertinggi yaitu Korea, Taiwan, Laut China Timur, dan Laut China Selatan (atau Laut Natuna Utara, menurut UU 4/2017). Senada dengan ini, NikkeiReview juga mengamini hal tersebut (minus laut China Timur). 

Jangkauan rudal hypersonic jarak medium tiongkok sumber : IISS
Jangkauan rudal hypersonic jarak medium tiongkok sumber : IISS

Korea dan Taiwan merupakan dua hal tidak berhubungan langsung dengan Indonesia, namun Indonesia bisa ikut kena getahnya. Sementara titik letup LCS menjadi masalah yang berhubungan langsung yang ada di depan mata (karena ada sebagian wilayah ZEE Indonesia yang turut bermasalah).

Mengapa konflik di Korea dan Taiwan dapat menjadi masalah bagi Indonesia? Karena Korea Selatan dan Taiwan notabene adalah sekutu Amerika Serikat. Sedangkan Singapura telah didesignasi sebagai Forward Operating Base untuk Armada ke 7 mereka (US 7th Fleet).

Lokasi pangkalan militer US 7th Fleet Sumber : Global Security.org
Lokasi pangkalan militer US 7th Fleet Sumber : Global Security.org

Adapun masalah LCS malah lebih rumit lagi, karena hampir semua negara ASEAN memiliki masalah dengan klaim LCS oleh Tiongkok, yaitu Filipina, Brunei, Vietnam, Malaysia dan Indonesia. LCS menjadi masalah pelik karena tidak hanya sekedar hak berlayar, namun juga masalah penangkapan ikan, eksplorasi migas dan pertahanan.

Dilihat dari dua hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia dapat terseret dalam konflik perang terbuka dengan salah satu pihak yang berkepentingan. Selanjutnya mari kita melihat potensial skenario perang yang bisa terjadi di Indonesia.

Skenario Potensial Perang di Indonesia

Walaupun Indonesia memiliki segudang kekayaan alam yang tentu sangat menggiurkan, untuk melakukan operasi militer konvensional di Indonesia merupakan hal yang sangat sulit.

Dengan total penduduk sebanyak 240 juta orang, bentuk negara kepulauan, dan bentang alam yang sangat bervariasi, maka kecil kemungkinan akan terjadi invasi dalam bentuk konvensional.

Sejarah memperlihatkan bahwa dalam PD II sekalipun, baik sekutu maupun Jepang hanya melakukan invasi pada titik-titik yang krusial, dan selanjutnya bahkan tidak menaruh banyak garnisun.

Sehingga scenario perang yang terjadi di Indonesia menurut penulis adalah antara akan bersifat lokal dan dengan tujuan penguasaan sebagian wilayah/akses atau malah perang total dengan penggunaan senjata pemusnah massal (NuBiKa-Nuklir Biologis Kimia).

Perang model lokal pernah terjadi antara Inggris dan Argentina dalam perang Falkland pada 1980an. Adapun Daerah yang kemungkinan dijadikan areal konflik antara lain perairan sekitar Singapura, LCS dan koridor alur laut Indonesia (ALKI).

Perang Model 2 yaitu penggunaan senjata pemusnah massal tentunya berupa serangan NuBiKa ke pusat populasi untuk menghilangkan kemampuan (dan kemauan) berperang dari Indonesia.

Setelah kita memahami kedua scenario yang paling mungkin terjadi, maka selanjutnya mari kita coba lihat apakah Indonesia memiliki kemampuan untuk menghadapi kedua scenario tersebut

Doktrin Pertahanan Indonesia

Pertahanan Indonesia disusun berdasarkan pertahanan semesta, dengan bersifat tidak agresif dan tidak ekspansif selama kepentingan nasional tidak terancam (Buku Putih Pertahanan 2014).

Dari pernyataan di atas dan bentuk diplomasi Indonesia yang bersifat bebas & aktif, terlihat jelas bahwa Indonesia memilih bentuk pertahanan pasif-defensif.

Ini juga tergambar jelas dari berbagai Latihan gabungan TNI yang skenarionya adalah pasukan musuh masuk ke wilayah Indonesia, selanjutnya ditahan oleh KODAM beserta masyarakat, dan terakhir dilakukan perebutan kembali wilayah oleh satuan KOSTRAD.

Secara hierarki UUD, UU, buku putih pertahanan dan terakhir Latihan gabungan sebagai bentuk pelaksanaan dari doktrin, semuanya telah sealur dan sesuai.

Sebagai konsekuensi, sebuah serangan konvensional invasi (contoh seperti D-day di Normandia, Invasi Jepang di Cirebon, dsb), membutuhkan jumlah pasukan serbu dan pendukung yang tidak sedikit.

Kesimpulan

Dengan asumsi jumlah pasukan yang dibutuhkan untuk mengunci gerak gerilyawan adalah sebanyak 10:1, maka pada tahap awal saja praktis negara yang menginvasi wilayah tertentu di Indonesia harus mempersiapkan sekurangnya 150.000 personil tempur. Sehingga scenario invasi wilayah darat bisa dikesampingkan.

Adapun scenario kedua yaitu berupa penggunaan serangan NuBiKa, sebagai sebuah serangan awal (fisrt-strike), hampir tidak mungkin digunakan. Karena penggunaan senjata ini, tanpa kejelasan adanya sebuah konflik di awal, dapat menyebabkan negara superpower lain salah mengira, dan melakukan retaliasi.

Skenario ketiga, yaitu scenario perang local demi akses, menjadi sebuah scenario yang paling mungkin terjadi. Permasalahannya bagi Indonesia, doktrin pertahanan kita menjadi mandul untuk menghadapi konsep perang seperti ini. 

Mungkin bila kita ingat kejadian dimana kapal penjaga pantai Tiongkok masuk ke ZEE Indonesia untuk mengawal kapal nelayan mereka, Indonesia merespon tidak proporsional dengan mengirim kapal perang.

Lucunya lagi, KRI kita bergerak tanpa adanya air cover yang memadai, karena ketidakmampuan pesawat tempur kita untuk melakukan pengawalan di wilayah tersebut.

Dari kejadian ini terlihat bahwa doktrin pertahanan Indonesia yang berupa pertahanan semesta, sudah saatnya untuk dikembangkan lagi.

Tanpa mengesampingkan peran rakyat, TNI harus mulai memiliki kapabilitas untuk melakukan proyeksi kekuatan di laut dan di udara. Karena tanpa kedua hal itu, maka kekuatan militer Indonesia hanya akan menjadi sekadar macan kertas di darat. 

Kita bisa melihat dalam operasi badai gurun di Irak-Kuwait, dimana pasukan Irak sebanyak 500.000 orang dengan Tank tempur utama, ranpur modern, Angkatan Udara yang mumpuni, leleh begitu saja dalam jangka waktu 48 jam, karena tidak memiliki Air dan Sea Superiority.

Sekali lagi Jas Merah, Jangan Sekali-kali melupakan sejarah.

Sumber: IISS Bulletin, Buku Putih Pertahanan,Nikkei Review,Wikipedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun