Mohon tunggu...
Kurnia Trisno Yudhonegoro
Kurnia Trisno Yudhonegoro Mohon Tunggu... Administrasi - Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Agricultural,Economic consultant and military enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memberi Makan Ibu Kota Baru

13 Agustus 2019   18:36 Diperbarui: 10 September 2019   09:02 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warteg Kharisma Bahari, di Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (23/10/2018). | (KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA)

Nah mungkin terbetik pertanyaan, bagaimana dari 2,6 juta penduduk menjadi 3,5 juta penduduk? Jawabannya sederhana: perhitungan di atas belum memperhitungkan Koh Akiang penjaga toko elektronik, Mbak Yanti kasir minimarket, Mas Hendi CS supermarket, Bang Iwan penjaga parkir, Bu Yayah penyapu jalan, Mbok Giyem penjual sayur, Mas Toto tukang cukur rambut dst. 

Yang sejujurnya hidup tanpa mereka terasa sangat tidak mungkin (belum lagi Pak Madun supir, Mpok Satem ART). Mungkin nanti ada yang berpendapat lain, tapi menurut hemat penulis, perhitungan di atas jauh lebih mendekati kenyataan.

Selanjutnya setelah kita mengetahui berapa jumlah penduduk Ibu Kota baru kita, maka kita bisa memproyeksikan berapa kebutuhan bahan pangan, berikut penulis sajikan di table dibawah.

Tabel kebutuhan sehari-hari. (milik pribadi)
Tabel kebutuhan sehari-hari. (milik pribadi)
Kebutuhan ini merupakan konsumsi per kapita rata-rata nasional, yang menjadi masalah kedua disini adalah konsumsi nasional sangat rendah untuk beberapa bahan pangan, contoh daging sapi, secara nasional hanya 2,5 kg/kapita, namun bagi masyarakat urban, terutama Jakarta, konsumsi bahan pangan bisa sampai 20 kali lipat dari konsumsi nasional.

Sebagai contoh, sepotong rendang di restoran padang itu beratnya 120 gram, yang berarti mentahnya sekitar 180 gram. Bila seminggu kita makan penganan tersebut 3 kali saja, maka konsumsi per kapita sudah 0,6 kg x 54 = 32,4 kg/kapita/tahun.

Penulis mengelaborasikan hal ini untuk memberi pengertian bahwa angka kebutuhan di atas bukanlah batas atas, melainkan sebuah kebutuhan minimum, karena penulis bahkan belum mengurangi dari segi penyusutan/ terbuang/tercecer yang untuk sayuran bisa mencapai 30 %.

Untuk beras, kondisi bisa dikatakan aman, karena Kalimantan merupakan daerah surplus beras, yang menjadi masalah adalah apakah beras Kalimantan sudah sesuai dengan selera pegawai yang notabene terbiasa dengan beras jawa?

Selain itu perlu dipastikan ketersediaan akses transportasi, mengingat bila satu truk hanya mampu membawa 20 ton beras, maka dalam sehari sekurangnya akan ada 60 truk yang masuk ke Ibu Kota untuk membawa pasokan beras, atau sekurangnya 3 truk per jam

Poin selanjutnya yang perlu dicermati adalah penyediaan daging ayam/sapi dan telur. Dengan berat rerata sapi 400 kg, dan rendemen 50 persen, ayam broiler rendemen 75 % maka setiap hari Ibu Kota baru membutuhkan sekurangnya 120 ekor sapi dan 120.000 ekor ayam. Yang mana bila satu truk bisa membawa 5 ekor sapi atau 3000 ekor ayam, maka per hari sekurangnya ada 24 truk yang membawa sapi dan 40 truk membawa ayam.

Atau 1 truk sapi dan 2 truk ayam per jam. Ini dengan catatan bahwa konsumsi Ibu Kota sama dengan konsumsi nasional, sementara bila kita melihat scenario yang lebih mendekati kenyataan, maka akan memerlukan setidaknya 4-15 kali lipat (bila ternak hidup).

Namun, masalah ketiga merupakan masalah yang paling pelik, yaitu darimana sumber pangan ini berasal? Untuk beras sudah jelas, setidaknya kita ada penyangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun