Kesulitan ini, tidak hanya karena tidak ditunjang oleh gerak cepat aturan energi dan aplikasinya, juga tidak adanya subsidi untuk mengaplikasikan konservasi energi sehingga menjadi atraktif.Â
Sebaliknya, di Jerman aturan penanganan energi bangunan Jerman saja hampir setiap 2 tahun sekali diperbaharui dan semakin ketat. Tentu saja, bagi para arsitek dan pakar energi bangunan Jerman, hal tersebut adalah tantangan yang tidak selalu menyenangkan namun untungnya selalu disertai insentif yang juga semakin menarik.Â
Tahun 2010 saya masih mendengar langsung pidato Dirjen EBTKE ESDM Indonesia pak Luluk saat itu tentang visi energi 25/25. Target Indonesia di tahun 2025 demi mewujudkan kontribusi pemanfaatan energi baru dan terbarukan sebanyak 25%. Visi Energi 25/25 mengedepankan dua hal penting katanya, yakni upayakonsevarsi energi di sisi pemanfaatan untuk menekan laju penggunaan energi nasional dan upaya diversifikasi disisi penyediaan mengutamakan energi baru terbarukan.
Contoh mudah bahwa upaya konservasi energi di Indonesia itu sangat lamban adalah penerapan konservasi energi di bangunan saja, pembuatan bangunan hijau atau rendah energi Indonesia sudah kalah jauh tertinggal dari Malaysia, apalagi dari Singapur. Silakan dijawab kira-kira karena apa? (ACJP)